kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.541.000   21.000   1,38%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Tuntutan open access hanya kepentingan trader gas


Senin, 21 Oktober 2013 / 08:44 WIB
Tuntutan open access hanya kepentingan trader gas
ILUSTRASI. Seorang warga menunjukkan KTP elektronik yang baru dibuatnya usai melakukan perekaman data kependudukan di Rusun Bendungan Hilir, Jakarta, Rabu (25/5/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/tom.


Reporter: Dikky Setiawan | Editor: Dikky Setiawan

JAKARTA. Pemerintah diminta untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan mengenai pelaksanaan open access terhadap pipa milik PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGN).

Demikian hal itu dikatakan Praktisi BUMN Muhammad Said Didu kepada wartawan di Jakarta, akhir pekan lalu terkait pelaksanaan open access pipa gas milik PGN.

Pasalnya, menurut mantan Sekretaris Kementerian BUMN itu, dibalik berbagai tekanan yang terus dilakukan oleh sejumlah pihak, sebenarnya terdapat kepentingan sekelompok pengusaha gas untuk memanfaatkan fasilitas milik BUMN.

"Pelaksanaan open access pipa itu hanya akan menguntungkan para trader dan broker gas. Pemerintah jangan sampai kalah oleh tekanan para trader dengan mengorbankan PGN sebagai aset BUMN yang sangat strategis," jelas Said.

Said menambahkan, selama ini banyak pelaku usaha gas bumi yang tidak memiliki infrastruktur dan hanya mengandalkan lobi kepada penguasa.

Sementara PGN telah melakukan investasi puluhan triliun untuk membangun infrastruktur dan memenuhi kebutuhan gas bagi konsumen dalam negeri, terutama bagi industri nasional.

Menurut Said, ada dua hal prinsip yang harus dijelaskan pemerintah terkait open access. Pertama, dalam UU Migas No 22 tahun 2001 tidak disebutkan bahwa open access diperuntukkan bagi bisnis gas bumi.

Kedua, pemerintah juga harus menentukan batasan, apakah open access juga akan diterapkan bagi investasi sebelum UU Migas diterbitkan atau berlaku surut.

“Dua persoalan prinsip itu harus terjawab dulu sebelum open access diterapkan. Apalagi selama ini PGN sudah melakukan open access terhadap aset pipanya. Kalau mau melaksanakan open access jangan menafsirkan UU untuk kepentingan pribadi atau trader,” tandasnya.

Sesungguhnya, lanjut Said, target dari para trader gas untuk memaksakan open access ini adalah menghentikan kegiatan bisnis PGN sebagai trader. PGN cukup membangun dan mengurusi infrastruktur pipa gas.

Sementara para trader gas itu akan menikmati infrastruktur yang sudah dibangun PGN dan para pelanggan yang sudah dikelola BUMN tersebut dengan cukup membayar toll fee yang rendah.

"Jangan sampai BUMN yang sudah menginvestasikan biaya besar-besaran untuk membangun pipa gas, tetapi bisnisnya justru minta dihentikan. Tuntutan Open Access itu memberi gambaran bahwa para trader gas tidak punya uang. Tuntutan itu dilakukan para cukong gas,” tegasnya

Said menambahkan, sebagai aset pemerintah BUMN seharusnya dilindungi dari kepentingan sekelompok orang atau pengusaha bermental calo.

Sebab, selama ini, kontribusi BUMN kepada pemerintah melalui setoran dividen terus meningkat setiap tahun. Apalagi BUMN seperti PGN memiliki posisi dan peran strategis dalam upaya mewujudkan program transformasi energi dari bahan bakar minyak (BBM) ke gas bumi.

"Kalau PGN harus melepas pipanya, akan muncul pebisnis-pebisnis gas yang sebenarnya tidak punya modal, hanya karena kedekatan dengan kekuasaan,” ungkap Said.

Selain itu, imbuh dia, para trader itu akan terus menaikkan harga gas karena dia tidak punya modal,  modalnya hanya kertas.

“Jika pemerintah ingin mewujudkan konversi BBM ke gas bumi jangan buka peluang bagi pebisnis yang tidak punya modal terjun ke sektor gas bumi,”  tandasnya.

Wakil Ketua Komite Pengatur Kegiatan Usaha Hilir Migas (BPH Migas) Fahmi H. Matori menjelaskan, konsep open access sesungguhnya berada di Eropa. Dimana di kawasan tersebut terdapat empat musim.  

Ketika musim  dingin tiba, sejumlah pemasok  gas mengalami kekurangan gas, sementara pemasok yang lain berkelebihan pasokan. Agar konsumen tetap mendapatkan pasokan, maka konsep open access diterapkan.

Menurut Fahmi, konsep open access seperti di Eropa belum tentu tepat jika diterapkan di Indonesia.

Makanya jika diterapkan  jangan sampai keputusan terkait Open Access tersebut justru akan membuat BUMN seperti PGN merugi dan yang menikmati adalah para trader gas.

BPH Migas, lanjut Fahmi, telah meminta Dirjen Migas untuk mengaudit trader-trader gas yang tidak punya fasilitas. Ia pun berpendapat, sebelum persiapannya matang, maka aturan soal open access sebaiknya ditunda dulu.

“Jangan sampai ketika aturan diterapkan justru membuat harga gas makin mahal atau malah merugikan BUMN. Kita menginginkan konsep Open Access yang sesuai dengan  kondisi Indonesia,” tegasnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×