kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45903,33   4,58   0.51%
  • EMAS1.313.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

TV lokal sepakat tak perlu ada LPPPM


Jumat, 02 Maret 2012 / 07:06 WIB
ILUSTRASI. IHSG diprediksi capai 7.000 di akhir tahun


Reporter: Arif Wicaksono | Editor: Djumyati P.

JAKARTA. Cerita tentang migrasi dari Televisi (TV) analog menuju era TV digital terus berlanjut dan semakin ramai saja. Di tengah pembahasan tentang revisi Undang-Undang(UU) no 32 tahun 2002 tentang Penyiaran oleh Komisi I DPR, TV lokal menyampaikan suaranya agar di dalam UU membahas tentang sistem yang lebih simple dibanding dengan keberadaan Lembaga Penyiaran Pelaksana Penyiaran Multipleksing (LPPPM).

Bambang Santoso, Ketua Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia(ATVJI) sekaligus pemilik Cahaya TV Banten(CTV) menuturkan, bahwa sebenarnya tidak perlu adanya lembaga baru seperti Lembaga Penyiaran Pelaksana Penyiaran Multipleksing (LPPPM). “Solusinya yang bisa dilakukan adalah dengan mengganti perangkat pemancar yang sebelumnya analog dengan perangkat TV digital karena pemancar milik TV lokal saat ini sudah ready digital,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (1/3).

Sebagai info, kemarin para pelaku industri penyiaran termasuk ATVJI dan Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI) melakukan Rapat Dengar Pendapat(RDP) dengan para anggota Komisi I DPR RI. Dalam RDP tersebut DPR berusaha menampung segala masukan dari para pelaku industri penyiaran yang nantinya akan dipertimbangkan untuk menjadi penguat UU Penyiaran yang baru.

Menurut Bambang, dengan keluarnya Peraturan Menteri(Permen) no 22 tahun 2011 tentang multipleksing. “Masyarakat juga terlihat belum siap menuju TV digital, karena pemerintah harus bisa memberikan subsidi berupa perangkat TV digital atau shuttle box kepada masyarakat,” ujarnya.

Bagi Bambang, diperlukan kesiapan serta kesinambungan baik dari Lembaga Penyiaran(LP), masyarakat, pemerintah sehingga tidak menimbulkan high cost atau kerugian yang lebih besar. Sejarah awalnya TV digital untuk memperbanyak konten tetapi sekarang bergeser menjadi semakin banyaknya jumlah stasiun TV.

Bambang mengatakan, pelaku industri penyiaran juga membutuhkan ketetapan peraturan dan kepastian hukum yang jelas. Sejauh ini TV lokal telah melakukan investasi yang cukup besar tetapi dibingungkan dengan aturan TV digital yang masih belum jelas sampai saat ini.

Bambang mengatakan, pada tahun 2009 pemerintah telah membuat peraturan tentang tv berjaringan, akibat peraturan tersebut para TV lokal telah melakukan investasi besar. “Dengan adanya era TV digital ini dengan sistem multipleksing lantas pemancar kami mau dikemanakan, apakah pemerintah mau memberikan ganti rugi ?,” tegasnya.

Berkaitan dengan revisi UU penyiaran, menurut Bambang didalamnya harus diatur sedemikian rupa tentang proses perizinan penyiaran yang lebih simple termasuk juga tentang pola peralihannya menuju TV digital. “Saat ini sistem perizinan di industri penyiaran masih bertele-tele, ke depannya harus disederhanakan agar Lembaga Penyiaran (LP) bisa maksimal,” ungkapnya.

Imawan Masruri, Ketua ATVLI sekaligus Direktur Utama Jawa Pos Multimedia Corporation menuturkan, di dalam UU penyiaran harus ada ketersediaan akan konten serta persaingan usaha. “Pemerintah melalui UU harus mempunyai road map yang jelas terkait dengan teknologi yang akan diterapkan di industri penyiaran,” ungkapnya.

Saat ini TV lokal yang ada jumlahnya mencapai 300 stasiun tv serta sebanyak 43-nya merupakan anggota dari ATVLI. Bisnis TV lokal saat ini rata-rata tumbuh sebesar 22%.

Senada dengan Bambang, Imawan menuturkan sebenarnya dalah hal penerapan di Indonesia tidak perlu adanya lembaga baru seperti LPPPM. Imawan mencontohkan, seperti di Jepang yang setiap TV hanya mengganti perangkat pemancarnya menggunakan perangkat digital sehingga tidak perlu menambah jumlah stasiun TV dan lembaga baru.

Menurut Imawan, jika adanya LPPPM sesuai dengan Permen no 22 tahun 2011 tentang multipleksing maka investasi yang telah dilakukan oleh para pelaku industri penyiaran akan mubazir. “TV lokal sebenarnya saat ini sudah dalam posisi yang nyaman, yang perlu diubah adalah proses pembuatan perizinan penyiaran yang dibuat simple dan cepat,” ujarnya.

Imawan mengatakan, sebenarnya untuk mengubah pemancar memiliki perangkat digital tidak memerlukan investasi yang besar karena biaya yang dikeluarkan hanya sekitar Rp 300 juta – Rp 500 juta. Hal ini tidak akan memberatkan stasiun TV yang sebelumnya telah berinvestasi sebagai gambaran pembangunan satu pemancar bisa menghabiskan dana Rp 7 miliar-Rp12 miliar sedangkan untuk Jawa Pos saja saat ini telah memiliki 43 TV lokal dengan setiap TV lokal memiliki satu pemancar.

Selain itu, Ia menyarankan agar, para pelaku industri baik pengusaha dan pemerintah harus membahas pola migrasi menuju TV digital secara bersama-sama, jangan membahas tentang aplikasinya. “Bisnis ini padat modal dan tidak jelas untuk kepastian kembalinya modal kemudian media juga punya tanggung jawab sosial kepada masyarakat sehingga bebannya dua kali lipat,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×