Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Anna Suci Perwitasari
Direktur eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menambahkan, perihal angka investasi dan bauran energi untuk mencapai net zero emission carbon 2050-2060 bisa berubah seiring keekonomiannya, angka itu sangat dinamis.
IESR memperkirakan nilai investasi yang diperlukan hingga 2030 menyentuh US$ 25 miliar sampai US$ 30 miliar, atau sekitar Rp 420 triliun.
Investasi akan lebih tinggi pada 2030–2050, yakni mencapai US$ 50 miliar hingga US$ 60 miliar per tahun. Nilai investasi itu termasuk untuk pengembangan di sektor kelistrikan, transportasi, dan industri. Fabby menyebut, investasi itu juga mencakup pengembangan green hydrogen, serta sintetik fuel untuk kendaraan yang tidak dapat menggunakan listrik, seperti pesawat dan kapal.
Dia mengakui, angka investasi ini memang besar. Namun, jangan dilihat sebagai beban biaya, melainkan sebagai kesempatan untuk menarik investasi.
Oleh karenanya, Fabby menegaskan regulasi dan perencanaan sangat penting untuk menarik minat investasi. Dengan meredupnya investasi batubara di PLTU, dia menilai, lebih banyak investor yang akan masuk ke proyek EBT.
Baca Juga: Konsumsi listrik tahun ini ditargetkan tumbuh hingga 4,75%, ini sektor penopangnya
"Perlu dipastikan juga, jangan sampai kita kekurangan proyek yang bankable. Selain itu juga, pembaruan data serta perencanaan yang terintegrasi dan solid akan menjadi sinyal bagus bagi investor untuk masuk," tegasnya.
Widhyawan Prawiraatmadja, Anggota Indonesia Clean Energy Forum (ICEF) menilai industri batubara membutuhkan sinyal yang lebih kuat melalui pajak karbon.
"Kalau bicara bisnis konteksnya insentif, semuanya berbicara masalah ekonomi tetapi tidak ada yang menyinggung berapa nilai karbon itu sendiri,"
Widhyawan melihat jikalau pajak karbon dan cap & trading tidak ada, pelaku industri merasa "musuh masih jauh". Artinya, mereka masih melihat bahwa dengan naiknya harga batubara dan gas atau kebutuhan produk ini masih besar ke depannya, maka investasi di sektor migas tetap akan terjadi.
Lebih lanjut, Widhyawan menggambarkan, Indonesia menerapkan pajak karbon US$ 5 per ton, maka aktornya akan berfikir kalau gitu kena pajak saja tidak apa-apa.
"Kalau begitu sama saja tidak berfungsi. Kecuali kalau seperti di luar, pajaknya US$ 50 per ton pasti sudah mikir banget mau pake fosil,” tandasnya.
Selanjutnya: Harga komoditas energi naik, simak rekomendasi saham emiten minyak dan gas berikut
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News