Reporter: Tendi Mahadi | Editor: Tendi Mahadi
Penerapan floor price tersebut, menurut Sunaryo, tidak mempengaruhi penerimaan Negara sama sekali karena pengusaha rokok membayar cukai mereka dalam jumlah rupiah per batang, dan selalu dibayarkan di depan. Lebih jauh Sunaryo mengatakan bahwa, penetapan floor price juga tidak memberikan efek apapun kepada penerimaan pajak rokok karena pajak rokok dibayar 10% dari cukai rokok tersebut. Aturan itu juga tidak akan mempengaruhi penerimaan Negara terhadap PPn hasil tembakau (HT) karena pengenaan PPn HT ditentukan berdasarkan HJE Banderol.
Sementara itu, Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) mengusulkan agar pemerintah memberlakukan aturan penjualan dengan harga minimum 85% dari harga jual eceran (HJE) secara nasional, tidak hanya pada 50% dari wilayah pengawasan Kanwil Bea dan Cukai. Hal ini yang disampaikan oleh Heri Susianto, Ketua Harian Formasi, beberapa waktu lalu. Tujuannya, lanjut Heri, untuk memberikan keadilan yang jauh lebih merata antara perusahaan rokok skala besar dengan usaha sejenis berskala menengah dan kecil.
Baca Juga: Booming tanaman hias di masa pandemi, ada yang harganya puluhan juta
Lima tahun lalu, lanjut Heri, tidak ada aturan untuk menjual 85% dari HJE. “Dengan kata lain perusahaan rokok bebas menjual dengan harga berapa pun, bahkan bisa jauh di bawah 85%,” jelasnya. Akibatnya, usaha rokok besar menekan pasar IHT yang diproduksi usaha kecil. Hal itu terjadi karena selisih harga tidak terpaut begitu jauh.
Agar lebih berkeadilan, Formasi mengusulkan agar ketentuan perusahaan rokok harus menjual IHT minimum 85% itu berlaku nasional. Saat ini berlaku Perdirjen 37/BC/2017, dimana perusahaan rokok berpeluang menjual rokok di bawah 85% di daerah-daerah di luar 40% dari wilayah kerja pengawasan Kanwil Bea dan Cukai.
Selanjutnya: Rayakan HUT ke-31, BRI Agro luncurkan produk digital
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News