Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Undang-Undang (UU) Cipta Kerja memungkinkan adanya pemberian royalti 0% bagi pelaku usaha yang melakukan peningkatan nilai tambah batubara. Keberadaan insentif tersebut mendapat tanggapan dari sejumlah produsen batubara di Indonesia.
PT Adaro Energy Tbk (ADRO) sebenarnya belum bisa bicara banyak soal dampak pengenaan royalti tersebut terhadap kelangsungan investasi di sektor hilir maupun kinerja perusahaan secara keseluruhan di masa mendatang.
Kendati demikian, Head of Corporate Communication Adaro Energy Febriati Nadira memastikan, ADRO selaku salah satu produsen dan kontraktor batubara sekaligus perusahaan publik senantiasa menerapkan prinsip tata kelola perusahaan yang baik.
Alhasil, ADRO tentu akan mematuhi dan mengikuti regulasi yang ditetapkan, termasuk ketentuan royalti di sektor hilir batubara yang diatur dalam UU Cipta Kerja. “Kami akan mengikuti aturan yang berlaku dengan melaksanakan optimalisasi pemanfaatan cadangan untuk peningkatan penerimaan negara dan pengembangan perusahaan,” ujarnya, Selasa (6/10).
Baca Juga: Insentif royalti hilirisasi batubara di UU Cipta kerja dinilai positif
Sebagai informasi, ADRO telah menjalankan kegiatan peningkatan nilai tambah batubara berupa pemanfaatan tambang batubara kokas lewat anak usahanya PT Adaro Metcoal Companies (AMC).
Mengutip laporan kuartalan ADRO, AMC mencatatkan produksi dan penjualan batubara sama-sama di level 0,72 juta ton atau naik 20% (yoy) dan 6% (yoy). AMC telah memulai produksi batubara kokas keras dari tambang Lampunut dalam konsensi Maruwai.
Di kuartal kedua lalu, AMC melakukan pengiriman pertama batubara kokas ke pelanggannya di Jepang. Perusahaan ini juga telah menjual batubara tersebut ke China dan India.
Dihubungi terpisah, Direktur dan Sekretaris Perusahaan PT Bumi Resources Tbk Dileep Srivastava menyambut positif kebijakan insentif royalti 0% bagi pelaku usaha yang menjalani bisnis hilir batubara dalam UU Cipta Kerja. Insentif tersebut dinilai akan membantu pelaku industri, termasuk emiten berkode saham BUMI tersebut, untuk terus mengembangkan hilirisasi batubara.
Sayangnya, ia belum bisa membahas lebih dalam soal dampak-dampak insentif tersebut terhadap kondisi dan prospek bisnis BUMI. “Untuk sementara sebaiknya kami tidak berspekulasi,” kata dia, hari ini.
Yang terang, BUMI akan berusaha menyelesaikan sejumlah proyek yang berkaitan dengan peningkatan nilai tambah batubara.
Misalnya, pembangunan fasilitas produksi batubara menjadi metanol di Kalimantan Timur yang ditargetkan selesai di tahun 2024 mendatang. Proyek ini hasil kerja sama Bakrie Group melalui PT Bakrie Capital Indonesia dengan Ithaca Resources dan Air Products dengan nilai investasi sekitar US$ 2 miliar. BUMI sendiri nantinya akan memasok batubara untuk fasilitas tersebut sekitar 6 juta ton per tahun.
Selain itu, BUMI juga mengembangkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) berkapasitas 64 megawatt (MW) yang berada di sekitar area pertambangan anak usahanya, Kaltim Prima Coal (KPC).
Tak ketinggalan, Dileep juga mengatakan, pihaknya tengah menunggu keputusan akhir yang resmi dan tegas dari pemerintah terkait perpanjangan izin Perjanjian Kontrak Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) Arutmin Indonesia menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Ini mengingat akhir November nanti izin PKP2B Arutmin Indonesia akan berakhir.
Selanjutnya: APBI dan IMA apresiasi insentif royalti untuk hilirisasi batubara di UU Cipta Kerja
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News