kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45923,49   -7,86   -0.84%
  • EMAS1.319.000 -0,08%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

AIKI tak setuju pungutan ekspor dan impor kakao


Minggu, 10 Juni 2018 / 14:27 WIB
AIKI tak setuju pungutan ekspor dan impor kakao


Reporter: Lidya Yuniartha | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) tak menyetujui wacana pungutan ekspor kakao olahan dan impor biji kakao. Pasalnya, pengutan ini dianggap akan semakin melemahkan daya saing industri kakao nasional.

"Hingga saat ini untuk impor biji kakao kami masih dikenakan bea masuk 5%, PPN 10% dan PPh 2,5%, total 17,5%. Disamping itu untuk ekspor kakao olahan ke Eropa juga dikenakan bea masuk 6% sementara produk olahan asal Afrika 0%," ujar Pieter Jasman, Ketua Umum AIKI kepada Kontan.co.id, Sabtu (9/6).

Saat ini, Kementerian Pertanian (Kemtan) tengah mengusulkan pungutan bagi perdagangan kakao. Kemtan mengusulkan, pungutan tersebut akan menggantikan bea masuk dan PPN yang ditanggung pelaku usaha. Nantinya, pungutan ekspor dan impor untuk komoditas kakao ini akan ditujukan untuk perbaikan kakao.

Pieter menjelaskan pungutan seperti ini pernah diterapkan pada komoditas kopi beberapa waktu yang lalu. Namun, akibat banyak masalah yang ditimbulkan, akhirnya kebijakan tersebut dicabut. Pieter khawatir, apabila pungutan ini diterapkan pada kakao, hal yang sama kembali terjadi.

AIKI mengusulkan agar pemerintah menganggarkan kembali program gernas kakao untuk membantuk petani meningkatkan produksi kakao. Peningkatan produksi ini bisa melalui bantuan bibit dan pupuk serta rehabilitasi kebun kakao. Pasalnya 99% kebun kakao merupakan perkebunan rakyat.

Pieter mengatakan, hal ini sesuai dengan UU No.3 tahun 2014 tentang Perindustrian, dimana dalam pasal 1 menyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah menjamin ketersediaan dan penyaluran sumber daya alam untuk negeri.

Pieter memaparkan, nilai ekspor kakao sangat tinggi setiap tahunnya. Berdasarkan data BPS, nilai ekspor komoditas kakao pada 2017 mencapai US$ 1 miliar. Namun, impor bahan baku terus meningkat atau mencapai US$ 500 juta.

"Ini akan lebih baik jika bahan bakunya bisa dipenuhi di dalam negei mengingat tanah di Indonesia dari Sabang sampai Merauke cocok untuk kakao dan 99% perkebunan kakao berupa perkebunan rakyat," ujar Pieter.

Lebih lanjut Pieter menambahkan, bila pemerintah ingin meningkatkan ekspor maka pemerintah harus fokus pada komoditas yang berorientasi ekspor, dimana kakao adalah salah satunya. Karena itu dia bilang, pemerintah perlu mengalokasikan sebagian anggarannya untuk membantu para petani kakao dalam meningkatkan produksi melalui bantuan bibit dan pupuk.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×