kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Asosiasi: Produsen pemintalan benang merana


Kamis, 20 Juli 2017 / 18:49 WIB
Asosiasi: Produsen pemintalan benang merana


Reporter: Eldo Christoffel Rafael | Editor: Rizki Caturini

JAKARTA. Kondisi pabrikan pemintalan benang (spinning) makin parah. Informasi seputar pabrikan yang ditutup ditanggapi oleh Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) ada sebagian yang benar. 

Saat dikonfirmasi KONTAN mengenai perusahaan yang tutup, Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta mengatakan, masih ada perdebatan mana perusahaan yang tutup dan tidak. 

“Bahkan bila dikonfirmasi ke masing-masing perusahaan sebagian besar tidak akan mengaku bila mereka tutup. Tapi informasi itu tidak semuanya benar,” kata Redma saat dihubungi KONTAN, Kamis (20/7).

Yang jelas Redma mengaku kinerja industri spinning memang sedang turun. Hal tersebut karena pelaku industri kesulitan dalam mengelola cash flow. “Karena mereka beberapa tahun jual barang di bawah harga produksi,” tutur Redma.

Menurutnya orientasi penjualan harus bersaing dengan negara seperti China, India yang punya biaya produksi. Sedangkan di dalam negeri, pelaku industri nasional harus bersaing dengan barang dari kawasan berikat yang lebih dulu saving cash flow. 

Menurutnya barang di kawasan tersebut mendapat fasilitas penangguhan Pajak Pertambahan Nilai (PPN). Kondisi tersebut ditambah pemain lokal harus bersaing dengan benang rembesan dari kawasan berikat yang tidak bayar PPN.

“Mereka terpaksa jual rugi daripada barang menumpuk di gudang. Padahal mereka juga harus bayar supplier, listrik dan upah buruh,” ungkap Redma.

Redma mengaku kapasitas produksi benang spindle sebesar 2,2 juta ton per tahun. Pada tahun 2016 produksi hanya bisa 1,54 juta ton. “Sampai akhir tahun diperkirakan utilisasi hanya 60%, atau hanya bisa produksi sekitar 1,40 juta ton,” kata Redma.

Oleh karena itu Ini, (APSyFI) mengusulkan agar fungsi Kawasan Berikat dikembalikan lagi seperti semula yaitu untuk perusahaan yang 100% ekspor. Kemudian, pemeriksaan pajak dihentikan sementara untuk menghilangkan ketakutan berbisnis. “Pemeriksaan pajak cukup dilakukan di retail yg dicurigai menjual barang impor ilegal,” tutur Redma.

Sedangkan untuk jangka panjang, agar tarif listrik dapat sebesar Rp 800 per kWh didahulukan untuk industri hulu (fiber dan spinning) agar bahan baku ke hilir jadi lebih murah.

Kemudian  harga gas dapat sebesar US$ 6 per MMBTU agar bahan baku lebih murah. “Terakhir ada aturan safeguard benang PE, TC dan TR selama 3 tahun agar industri spinner bisa recover,” pungkas Redma.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×