kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45931,36   3,72   0.40%
  • EMAS1.320.000 -0,38%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

CEO Rusal: Kami ingin berinvestasi di Indonesia


Kamis, 10 Oktober 2013 / 15:40 WIB
CEO Rusal: Kami ingin berinvestasi di Indonesia
ILUSTRASI. IHSG Masih Rawan Terkoreksi, Saham Tambang dan Komoditas Bisa Dilirik


Reporter: Uji Agung Santosa | Editor: Hendra Gunawan

Seperti diketahui, perhelatan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Asia-Pacific Economic Cooperation (APEC) di Nusa Dua, Bali, yang berakhir pada Selasa (8/10) kemarin, tidak hanya dihadiri oleh para pemimpin negara anggota APEC. Para pemimpin perusahaan dari negara-negara anggota APEC juga turut meramaikan acara tahunan tersebut.

Salah satunya Oleg Deripaska. Oleg adalah CEO dari En+ Group. Ia juga merupakan CEO dari UC RUSAL, perusahaan tambang asal Rusia. Dalam kunjungannya di Bali kemarin, pria yang tahun ini dinobatkan sebagai orang terkaya ke 16 di Rusia dan ke 131 dunia oleh Forbes dengan total kekayaan mencapai US$ 5,8 miliar itu, menyatakan minatnya untuk berinvestasi di Indonesia.

Hasrat Oleg untuk masuk ke sektor pertambangan di Indonesia tersebut diutarakannya kepada wartawan KONTAN, Uji Agung Santosa. Berikut ini petikan wawancara dengan Oleg Deripaska yang dilakukan pada Senin (7/10) kemarin.

Bagaimana pandangan Anda terhadap bisnis pertambangan di Indonesia dan apakah Rusal berkeinginan berinvestasi di Indonesia?

Saya punya dua perusahaan pertambangan metal, yaitu Rusal dan Norilsk Nickel. Keduanya sangat berminat datang ke Indonesia untuk berinvestasi. Keduanya ingin investasi jangka panjang.

Apa yang diperlukan untuk mewujudkan investasi itu?

Untuk kami penting sekali, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah ada dukungan dengan pelaksanaan peraturan pemerintah itu sendiri. Khususnya yang berkaitan dengan pertambangan yakni peraturan 2009 yang menentukan batas ekspor bahan mentah mineral.

Itu berarti apakah Rusal membutuhkan lebih banyak kelonggaran ekspor atau seperti apa?

Kami berharap pelaksanaan peraturan 2009 dalam bidang pertambangan itu Pemerintah Indonesia menentukan peraturan yang akan berlaku, supaya jelas untuk semua pemain. Dan kami harapkan bahwa kekayaan Indonesia tidak lagi ‘dirampok’ oleh pihak yang tidak bertanggung jawab, tapi akan diproses di  dalam negeri agar menjadi bahan yang dapat dijual dengan harga lebih tinggi dengan margin yang tinggi pula.

Misalnya kalau dalam bidang bauksit dan alumina, kami sendiri adalah pembeli alumina. Kami membutuhkan kurang lebih 2 juta ton alumina dari luar untuk dimasukkan ke Rusia melalui bagian timur Rusia.

Berapa kebutuhan Rusal?

Pada waktu sekarang kami punya perusahaan patungan di Australia, yaitu dengan Rio Tinto. Dan melalui perusahaan tersebut kami dapat kurang lebih 750.000 ton alumina per tahun. Selisihnya kurang lebih 1,25 juta ton kami beli dengan memakai kontrak yang bermacam-macam dengan supplier yang berbeda pula.

Dengan kebutuhan yang sangat besar, kami berminat untuk menanam modal di sini agar alumina dapat diproduksi dengan bahan mentah dari Indonesia. Baik melalui perusahaan patungan ataupun modal sendiri. Itu supaya bisa menjamin ekspor bahan baku dengan harga yang jauh lebih mahal dengan kapasitas smelter 1,5 juta ton.

Berapa nilai investasi yang akan ditanamkan Rusal di Indonesia untuk membangun smelter berkapasitas 1,5 juta ton itu?

Tergantung dari infrastruktur dan logistik, juga  infrastruktur yang berkaitan dengan energi. Tapi rata-rata dengan kapasitas 1,5 juta ton per tahun membutuhkan investasi sekitar US$ 1,5 miliar sampai US$ 1,8 miliar.

Siapa kira-kira partner di Indonesia yang akan Anda ajak kerjasama?

Kami sedang mempertimbangkan beberapa penawaran yang kami punya. Penting sekali bagi kami supaya partner yang kami cari di sini memiliki kemampuan memfasilitasi jumlah bahan bauksit seperti yang dibutuhkan. Partner lokal juga harus bantu kami dari segi logistik.

Jika partner ini sudah didapat, lalu kapan investasi Rusal akan dilaksanakan?

Kami memiliki teknologi, baik teknologi processing dari bauksit menjadi aluminum, maupun teknologi pembangunan pabrik. Kami punya engineering yang akan membantu pelaksanaan proyek tersebut. Dengan kemampuan untuk mengontrol proses pembangunan itu kami menjamin pelaksanaan pembangunannya sampai dengan berproduksi kurang lebih 3,5 tahun.

Cepat sekali?

Ini baru tahap pertama.

Siapa perusahaan dari Indonesia yang mengajukan proposal atau tertarik dengan tawaran ini?

Ini bukan rahasia, tapi kami anggap bahwa itu mungkin kurang sopan kami sebut sekarang sebelum perundingan di selesaikan.

Secara umum bagaimana Anda melihat kondisi ekonomi Indonesia?

Jelas bahwa keadaan perekonomian Indonesia cukup baik. Dari segi GDP setiap tahun naik 6,5%. Tapi jelas bahwa masih banyak risiko yang berkaitan dengan posisi Indonesia dalam perekonomian dunia, termasuk yang berkaitan dengan nilai tukar. Sedangkan yang kedua berkaitan dengan semua pasaran dari bahan mentah.

Dari segi ini semua gerakan pemerintah Indonesia punya konsekuensi yang sangat serius, bisa berakibat negatif sehingga akan berdampak mengubah situasi menjadi tidak begitu baik. Tapi kita juga melihat dalam kebijakan soal timah, dimana pemerintah Indonesia telah mengumumkan peraturan yang berguna sekali untuk perekonomian Indonesia sehingga ada hasil yang baik.

Untuk pertambangan sendiri, kan ada aturan pembatasan ekspor tambang. Bukankah ini bagus untuk Rusal yang ingin membangun smelter?

Untuk kami penting sekali untuk mengetahui secara jelas dan meramalkan langkah pemerintah dari jangka pendek dan panjang. Saat ini dunia, khususnya industri pertambangan, tidak percaya bahwa Indonesia akan melaksanakan aturan pembatasan ekspor tersebut.

Karena kepercayaan itu dicerminkan dari segi harga. Kalau dunia luar percaya bahwa akan diberhentikan ekspornya pada bulan Januari, maka harga akan langsung naik. Namun saat ini harga masih rendah.

Apakah kondisi itu menguntungkan Indonesia?

Kami anggap bahwa keadaan sekarang dengan ekspor bahan mentah yang begitu murah, termasuk bauksit, batubara, dan logam mentah dalam bentuk ferrum dan nikel tidak menguntungkan Indonesia. Indonesia menjual  keunggulannya dalam bidang pertambangan untuk diberikan kepada orang lain tanpa pengolahan terlebih dahulu. Untuk masa depan seharusnya diproses di dalam negeri sehingga lebih menguntungkan.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×