kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

REI belum puas soal aturan pajak rumah mewah


Kamis, 22 November 2018 / 15:08 WIB
REI belum puas soal aturan pajak rumah mewah
ILUSTRASI. Soelaeman Soemawinata, Ketua Umum REI


Reporter: Denita BR Matondang | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan berencana merivisi aturan pajak rumah mewah. Insentif ini dinilai mampu mendongkrak pertumbuhan industri properti.

Lewat revisi aturan pajak ini, pemerintah akan menaikkan batas pengenaan PPnBM properti mewah dari Rp 20 miliar menjadi Rp 30 miliar. Sedangkan, Tarif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 22 untuk pembelian hunian tersebut juga dipangkas dari 5% menjadi 1%.

Sayangnya, Ketua REI Pusat Soelaeman Soemawinata belum puas atas revisi itu. Apalagi, insentif itu dinilai tidak mempengaruhi pertumbuhan sektor properti secara signifikan. 

Menurut Soelaeman, wacana itu hanya mempengaruhi sisi psikologis pelaku usaha atau masyarakat kelas menegah ke atas. Para pelaku usaha ataupun masyarakat kelas menengah ke atas tertarik tetapi tidak tergugah untuk menanamkan investasi di sektor tersebut.

"Kebijakan itu kan memang salah satu usulan kami sewaktu menghadap Presiden. Cuma harapan kami full. Full artinya, dihapuskan (pajak rumah mewah). Pemerintah janganlah tanggung-tanggung, " kata Soeleman di Jakarta, Kamis (22/11).

Soeleman mengatakan pertumbuhan industri properti justru akan meningkat bila pemerintah berani menghapuskan pajak rumah mewah. Apalagi, pasar rumah mewah di Indonesia masih terbatas. Catatan Soeleman, setidaknya di DKI Jakarta saja, hanya ada 10 proyek rumah mewah.

"Di segmen itu mungkin ada yang mau lebih bergerak (bila pajak dihapuskan), tetapi belum bisa dipastikan seberapa besar peningkatan karena baru wacana," ucap Soeleman.

Soelaeman juga berharap pemerintah tidak hanya merelaksasi beleid pajak rumah mewah saja. Relaksasi sebaiknya juga dilaksanakan terhadap seluruh sektor terkait secara serentak. 

Relaksasi itu diantaranya soal peraturan tata ruang, perizinan, perbankan, atau pembangunan infrastruktur, termasuk kebijakan atas ekonomi global.

"Kalau satu saja yang maju kan yang lain mandek, tetapi kalau semua dapat menunjang pasti semua berjalan," kata Soelaeman.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×