Reporter: Fitri Nur Arifenie | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Pemerintah mewajibkan sektor industri pertambangan mineral dan batubara (minerba) untuk menggunakan bahan bakar nabati (BBN). Kewajiban ini berlaku paling lambat 1 Juli 2012. Kewajiban penggunaan BBN tersebut untuk mendukung kebijakan mandatori BBN.
Direktur Bioenergi, Ditjen Energi Baru dan Terbarukan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Maritje Hutapea mengatakan, perusahaan tambang minerba wajib mencampur bahan bakar minyak (BBM) yang mereka pergunakan dengan bahan bakar nabati (BBN) sebesar 2%. Ia menjelaskan, kewajiban mandatori BBN ini bahkan sudah diatur dalam Peraturan Menteri Energi Sumber Daya Mineral(Permen ESDM) Nomor 32 Tahun 2008 tentang Mandatory BBN.
Menurut Maritje, beleid yang terbit sejak tahun 2008 lalu hingga sekarang belum ada realisasi pemakaian. Makanya, mulai tahun ini, pemerintah mendesak industri tambang memakai BBN. "Sebelum mengajak industri lain, kita ingin industri tambang yang di bawah ESDM yang memakai dulu supaya bisa menjadi contoh," kata Maritje, Selasa (27/3).
Sesuai kesepakatan rapat pada 28 Oktober 2011 lalu, pengusaha pertambangan minerba dengan Ditjen Energi Baru dan Terbarukan akan membuat pemetaan distribusi bahan bakar oleh seluruh badan usaha pemegang izin usaha niaga BBM di seluruh Indonesia, pasokan BBN di seluruh Indonesia serta lokasi penambangan dan depo BBM dari badan usaha pemegang izin usaha niaga BBM.
Menurut Maritje, seharusnya industri pertambangan tidak masalah dengan penggunaan BBN. Pasalnya selama ini, industri menggunakan BBM non subsidi. "Menggunakan BBN hanya akan menambah Rp 50 per liter, cuma sedikit tapi manfaatnya banyak," kata Maritje.
Untuk saat ini, kata Maritje, pemerintah masih memberikan kelonggaran kepada industri pertambangan minerba sehingga belum ada sanksi bagi yang belum menggunakan BBN. "Tapi nanti kalau pendekatan soft tidak berhasil, pendekatan agak keras boleh, dong," kata Maritje.
Setuju dengan syarat
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Supriatna Sahala tidak menolak mencampur BBN di dalam BBM untuk kegiatan industrinya.
Namun, para pengusaha berharap tidak harus membeli langsung dari para produsen BBN dan mencampurnya sendiri. "Karena kita tidak memiliki waktu ataupun teknologi untuk mengontrol kualitas bahan bakar yang dicampur dengan BBM," tandas Supriatna.
Ia menyarankan supaya para produsen BBN memberikan suplai kepada Pertamina. Sehingga nanti yang akan mencampur adalah Pertamina. Dengan begitu, pengusaha akan membeli bahan bakar dari Pertamina yang aman untuk dipakai. "Sekarang ini, banyak produsen yang ingin menjual langsung ke perusahaan," jelas Supriatna.
Kenaikan penggunaan BBN untuk BBM membawa angin segar bagi pengusaha produsen BBN. Sebelumnya, Poernadi Djojosudirdjo, Ketua Asosiasi Produsen Biofuels Indonesia (APROBI) mengatakan, Asosiasi mendukung kebijakan pemerintah untuk meningkatkan penggunaan BBN dalam BBM.
Dengan adanya kebijakan tersebut, para produsen biodiesel dapat lebih mengoptimalkan kapasitas pabrik. Kapasitas produksi biodiesel nasional mencapai 4 juta ton. "Tapi produksi biodiesel dalam negeri hanya sekitar 350.000 sampai 400.000 ton," kata Poernadi.
Menurut data Kementerian ESDM, kewajiban pemanfaatan biodiesel yang ditetapkan pemerintah pada 2011 sebanyak 1,3 juta kiloliter, namun realisasinya hanya 27,6% atau sekitar 358.812 kiloliter.
Sebelumnya, pemerintah juga mewajibkan untuk pom bensin mencampur BBN di dalam BBM. Tujuannya untuk meningkatkan penggunaan BBN. Untuk sektor transportasi, Pertamina telah menaikkan campuran BBN dari 5% menjadi 7,5%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News