Reporter: Filemon Agung | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sebanyak 13 sektor industri di luar Peraturan Presdien No 40 Tahun 2016 meminta juga mendapatkan gas murah seharga US$ 6/MMBTU. Sebagai informasi, sebelumnya sudah ada 7 sektor industri yang menikmati harga gas murah ini, yakni industri pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, kaca dan sarung tangan karet.
Adapun 13 sektor industri yang ingin mendapatkan harga gas khusus yakni industri ban, makanan dan minuman, pulp dan kertas, logam, permesinan, otomotif, karet remah, refraktori, elektronika, plastik fleksibel, farmasi, semen, dan asam amino.
Deputi Keuangan dan Monetisasi SKK Migas, Arief Setiawan mengatakan pihaknya sudah melakukan evaluasi terhadap ketiga belas sektor industri tersebut. Menurutnya, perlu dipertimbangkan lebih jauh khususnya mengenai volume dan kemapanan dari industri tersebut.
Baca Juga: Jadi sumber penerimaan PPN baru, batubara menyumbang hampir setengah triliun
"Semisal pulp and paper, yang mohon maaf konglomerat, masa dikasih harga murah lagi. Itu pertimbangan yang kami jajaki," ujarnya dalam webinar Indonesian Gas Society, Kamis (24/6).
Pemberian insentif gas untuk industri memberikan seperti pedang bermata dua yang bisa memberikan manfaat di sisi lain dapat memberikan kerugian.
Arief memaparkan, selama setahun pemberian insentif gas untuk 7 sektor industri berdampak pada penurunan penerimaan negara dari usaha hulu migas. Awalnya diproyeksikan total realisasi penerimaan negara dengan adanya insentif ini sebesar US$ 1.297 juta, namun realisasinya hingga 2020 hanya US$ 460 juta. Perinciannya, dari sektor industri sebesar US$ 116 juta, industri pupuk US$ 53 juta, listrik US$ 240 juta.
Selain itu, setoran pajak tujuh sektor industri yang mendapat penyesuaian harga gas pun merosot. Tercatat pada 2019 setoran pajak senilai Rp 44,89 triliun, kemudian pada 2020 turun menjadi Rp 40,09 triliun dan kuartal I 2021 sebesar Rp 10,23 triliun. Menurutnya, jika dikalikan dengan periode 4 kuartal, maka setoran pajak menjadi stagnan di kisaran Rp 40 triliunan.
Baca Juga: Ferron Par Pharmaceticals pasang PLTS terbesar di Cikarang
Arif menambahkan, ini disebabkan oleh beberapa hal, di antaranya adalah pelemahan ekonomi akibat pandemi Covid-19. "Perlu kita ingat ini dalam kondisi tidak normal, 2020 tekanan harga minyak rendah," lanjutnya.
Menurut Arif, Kebijakan penurunan harga gas penting untuk dievaluasi, dengan pertimbangan perekonomian dalam negeri.
SKK Migas pun telah melakukan evaluasi terhadap tambahan industri yang mendapat insentif harga gas US$ 6 per MMBTU, dengan memperhatikan kemapanan industri. "Tentunya untuk melakukan ini pemerintah sudah membentuk tim evaluasi melalui kepmen 169 K 2020 dari hulu sampai hilir melakukan evaluasi penetapan harga gas bumi, pengkinian data calon pengguna gas bumi, terkait penerimaan negara yang mengkompensasi penurunan harga gas," tandasnya.
Anggota Dewan Energi Nasional (DEN) Satya Widya Yudha mengatakan, untuk menurunkan harga gas bumi sebesar US$ 6 per MMBTU sampai tingkat konsumen, negara harus berkorban mengurangi pendapatannya dari sektor hulu migas. Ini pun berujung pada berkurangnya Dana Bagi Hasil (DBH) migas ke daerah.
"Mengenai berkurangnya DBH perlu sosialisasi dalam keputusan negara untuk membikin harga murah pada gas," kata Satya, dalam IGS Webinar Series 6, Kamis (24/7/2021).
Menurut Satya, pelaksanaan kebijakan penurunan harga gas sebesar US$ 6 per MMBUTU perlu dievaluasi secara menyeluruh, baik dari sisi penerimaan negara dari sektor hulu migas, pendapatan negara dari pajak dan daya saing industri yang mendapat insentif harga gas US$ 6 per MMBTU.
"Niatan kita membuat industri kompetitif ini sudah luar biasa. mudah-mudahan ada balance apa yang sudah dikorbankan," ujarnya.
Selanjutnya: Program penerapan modernisasi Pupuk Kaltim telah capai 50%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News