Sumber: Antara | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Maskapai Batik Air meraih ketepatan waktu penerbangan (on time performance-OTP) tertinggi periode Juli sampai dengan Desember atau Semester II 2015 berdasarkan evaluasi Kementerian Perhubungan.
Kepala Biro Komunikasi dan Informasi Publik Kemenhub JA Barata mengatakan persentase OTP Batik Air sebesar 91,21 persen atau 23.366 penerbangan dari total 25.617 penerbangan. "Disusul oleh Nam Air, kemudian Garuda Indonesia," katanya, Senin (1/2).
Barata merinci kedua, Nam Air dengan OTP 90,61 persen atau penerbangan tepat waktu sebanyak 8.248 penerbangan dari total 9.103 penerbangan.
Ketiga, lanjut dia, Garuda Indonesia dengan OTP 85,82 persen, dengan penerbangan tepat waktu sebanyak 77.955 penerbangan dari total 90.832 penerbangan.
Adapun, Barata mengungkapkan tiga maskapai dengan persentase keterlambatan (delay) tertinggi yaitu pertama, Trigana Air dengan persentase 45,74 persen atau sebanyak 2.384 penerbangan mengalami keterlambatan dari total 5.212 penerbangan.
Kedua, Susi Air dengan persentase 34,96 persen atau sebanyak 7.271 penerbangan yang terlambat dari total 20.801 penerbangan.
Ketiga, Travel Express dengan persentase 33,28 persen atau sebanyak 1.717 penerbangan delay dari total 5.159 penerbangan.
Secara rata-rata dari evaluasi 15 maskapai dengan 356.621 penerbangan, persentase penerbangan tepat waktu/OTP pada periode Semester II 2015 yaitu 77,16 persen atau sebanyak 275.172 penerbangan.
Sementara, persentase penerbangan yang mengalami keterlambatan (delay) sebesar 20,74 persen atau 73.950 penerbangan, dan sisanya, persentase penerbangan yang mengalami pembatalan (cancel) yaitu sebesar 2,15 persen atau sebanyak 7.668 penerbangan.
"Dari evaluasi tersebut, ditemukan beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya keterlambatan penerbangan," katanya.
Barata menyebutkan pertama, faktor teknis operasional yaitu faktor keterlambatan yang disebabkan faktor kondisi bandara (di luar manajemen maskapai), seperti bandara tidak dapat digunakan, keretakan landasan pacu, keterlambatan pengisian bahan bakar, dan terjadinya antrian pesawat yang akan lepas landas maupun mendarat di bandara.
"Faktor tersebut menyumbang 32,75 persen atau sebanyak 24.216 penerbangan dari total keterlambatan penerbangan ke-15 maskapai pada periode tersebut," katanya.
Kedua, lanjut dia faktor non teknis operasional yaitu faktor keterlambatan penerbangan yang disebabkan karena manajemen maskapai, seperti keterlambatan kru pesawat, keterlambatan catering, keterlambatan karena menunggu penumpang yang akan "check in", ketidaksiapan pesawat dan keterlambatanan penanganan di darat.
Dia mengatakan faktor tersebut menyumbang 49,63 persen atau sebanyak 36.702 penerbangan.
Ketiga, lanjut dia, faktor cuaca dengan persentase 15,84 persen atau sebanyak 11.713 penerbangan.
Keempat, faktor lain-lain yaitu faktor keterlambatan penerbangan yang disebabkan di luar manajemen maskapai, teknis operasional, dan cuaca, seperti adanya kerusuhan atau demonstrasi di wilayah bandara.
"Faktor tersebut menyumbang 2,57 persen atau sebanyak 1902 penerbangan," katanya.
Barata mengatakan, sementara faktor yang menyebabkan terjadinya pembatalan penerbangan (cancel) antara lain, pertama faktor teknis operasional dengan persentase 0,50 persen atau sebanyak 370 penerbangan.
Kedua, faktor non teknis operasional dua persen atau sebanyak 1.481 penerbangan.
Ketiga, faktor cuaca 7,74 persen atau sebanyak 5.726 penerbangan, dan keempat, faktor lain-lain 0,13 persen atau sebanyak 94 penerbangan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News