Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Dampak tren penurunan harga minyak dunia tak pelak muncrat ke bisnis pesawat carteran. Apalagi, sebagian besar klien maskapai carteran ini datang dari industri minyak dan gas bumi (migas).
Ini pula yang membuat maskapai penerbangan tidak berjadwal tersebut harus mengencangkan ikat pinggang. "Kalau bisnis intinya berhenti, kami juga harus ikut berhemat," ujar Rifki E. Hardijanto, Plt Direktur Utama PT Pelita Air Services kepada KONTAN, (27/1).
Sejak tahun lalu, beberapa klien maskapai ini yang notabene adalah dari kalangan industri migas, datang untuk meminta renegosiasi kontrak. Imbasnya, maskapai ini pun terpaksa menghemat biaya. Sayang, Rifki tidak memberikan perincian apa saja jenis penghematan yang mereka lakukan untuk bertahan.
Sebenarnya saat harga minyak luruh, bisnis maskapai diuntungkan oleh biaya operasional yang ikut turun seiring berkurangnya harga avtur. Tapi insentif harga avtur itu tak cukup, jika tidak ada order untuk terbang.
Rifki menyebut, bisnis carter pesawat saat ini terus turun. Di sisi lain tahun ini perusahaan kontraktor migas terus menurunkan anggaran belanja mereka, termasuk investasi. Karena itu, Rifki memprediksi penurunan pesanan tahun ini jumlahnya bisa lebih besar dibandingkan dengan tahun lalu.
Sebagai gambaran, kontribusi bisnis terbesar, yakni 80% masih berasal dari induk usaha, PT Pertamina. Sedangkan klien migas lain adalah Conoco Philips dan Star Energy.
Layani jarak pendek
Meski kondisi lagi sulit, bisnis harus tetap jalan. Salah satu lini bisnis PT Pertamina ini mulai melakukan diversifikasi usaha mencari klien non sektor migas. "Kami masuk portofolio baru di bisnis perawatan turbin gas," katanya.
Ia memproyeksi usaha anyar yang sudah dipersiapkan tahun lalu ini bisa memberi kontribusi 5%-6% dari total pendapatannya. Selain itu, maskapai ini bakal melayani carteran pemerintah untuk proyek hujan buatan. Lini bisnis ini diproyeksikan bisa menyumbang hingga 20% dari total pemasukan.
Adapun Whitesky Aviation mengaku siap menghadapi imbas penurunan harga minyak. Maskapai yang berbasis di Halim Perdanakusuma ini sudah lebih dulu menggarap layanan terbang di luar jasa pertambangan.
Denon Prawiraatmaja, Presiden Direktur PT Whitesky Aviation menuturkan sejak 2013, pihaknya sudah mengantisipasi laju bisnis ini dengan mengurangi kontribusi penyewaan pesawat di pertambangan. Tahun lalu, sewa pesawat dari tambang berkurang 50% dari tahun 2014.
Belakangan, maskapai ini lebih banyak melebarkan sayap di sektor pariwisata dan bisnis. Misalnya, helikopter milik Whitesky melayani penerbangan wisata sekaligus bisnis ke Indonesia Timur.
Ia juga sudah menyiapkan strategi bisnis unik untuk tiga sampai lima tahun ke depan. Saat ini, pihaknya tengah melakukan studi kelayakan pengembangan usaha transportasi kota pakai helikopter.
Perusahaan ini akan menawarkan jasa transportasi jarak dekat Jakarta–Bandung, Jakarta–Cilegon atau Jakarta–Cirebon. Targetnya "Penjualan 2016 bisa kembali seperti di 2013," katanya.
Meski begitu, Ketua Penerbangan Berjadwal Indonesia National Air Carrier (INACA) ini menyebut Indonesia Air Transport, Deraya Air Service dan Derazona Air Sevice masih setia di bisnis migas.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News