Reporter: Handoyo | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Temuan praktik perbudakan terhadap nelayan Myanmar di perairan Indonesia harus serius dituntaskan. Investigasi menyeluruh terhadap kasus ini akan menjadi kunci menjawab sentimen negatif yang dituduhkan ke Indonesia.
Riza Damanik Ketua Umum Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI) mengatakan, selain Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP), penyelesaian terhadap perbudakan di kapal penangkap ikan perlu juga melibatkan Komnas HAM, Imigrasi, Kemlu, TNI-Polri, hingga kelompok masyarakat.
Pemerintah juga dapat mengeluarkan notifikasi mengajak masyarakat ASEAN dan dunia internasional memberikan sanksi penutupan (disinsentif) akses pasar terhadap perusahaan Thailand dan lainnya yang terlibat dalam praktik perbudakan. "Termasuk membatalkan seluruh sertifikasi produk perikanan yang pernah diterimanya," kata Riza, Minggu (29/3).
Menurut Riza, ada 5 indikator kepatuhan yang harus diintegrasikan ke dalam sistem perizinan baru perikanan.
Pertama, kepatuhan membayar pajak. Kedua, kepatuhan membangun Unit Pengolahan Ikan. Ketiga, kepatuhan melindungi pekerja di atas kapal.
Keempat, kepatuhan menjaga lingkungan laut. Serta, kelima, kepatuhan menjaga kualitas produk ikan aman bagi konsumen.
KNTI juga mengingatkan KKP untuk tidak terjebak pada daftar hitam perusahaan yang ada saat ini. Karena besar kemungkinan modus ke depan adalah mereka mendirikan perusahaan baru, nama baru, dan manajemen baru, namun tetap menggunakan sumber kapital yang sama. Disinilah kelima indikator kepatuhan di atas dapat memisahkan antara pelaku usaha perikanan nakal dan yang benar-benar membawa manfaat buat negara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News