Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Enam proyek hilirisasi batubara menjadi Dimethyl Ether (DME) yang digadang-gadang dapat menjadi bahan bakar alternatif pengganti Liquefied Petroleum Gas (LPG), secara resmi telah diajukan oleh Ketua Satuan Tugas (Satgas) Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional sekaligus Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia kepada Danantara.
Enam proyek DME ini masuk kedalam sub-proyek hilirisasi sektor minerba dari total 18 proyek hilirisasi yang telah diajukan pada Selasa (22/07) lalu.
"Agenda hilirisasi sesuai dengan apa yang diamanatkan dalam keputusan Presiden, kami ada sekitar 18 proyek yang sudah siap pra FS. Dengan total investasi sebesar US$ 38,63 miliar, atau setara dengan Rp 618,3 triliun," ungkap Bahlil, di Kantor ESDM, Jakarta, Selasa (22/07).
Baca Juga: Perusahaan India, Emmsons Ungkap Niat Investasi di Proyek Hilirisasi Batubara DME
Adapun, khusus DME, target pembangunan proyek tersebar di enam daerah potensial Indonesia, dengan daftar sebagai berikut:
(A) Bulungan, Kalimantan Utara
(B) Kutai Timur, Kalimantan Timur
(C) Kota Baru, Kalimantan Selatan
(D) Muara Enim, Sumatra Selatan
(E) Pali, Sumatera Selatan
(F) Banyuasin, Sumatera Selatan
Dalam perhitungan Satgas Hilirisasi, jika keenamnya dibangun, maka memerlukan total investasi senilai Rp 164 triliun.
Terkait target ini, Indonesia Mining Association (IMA) menyambut baik proyek-proyek hilirisasi, khususnya batubara melalui proses gasifikasi, seperti yang diajukan Bahlil.
"Saya kira niatnya positif ya bahwa Danantara dan dukungan dari pemerintah, harapannya proyek ini (DME) bisa berjalan," ungkap Direktur Eksekutif IMA, Hendra Sinadia saat ditemui di Jakarta, Rabu (23/07).
Hendra mengakui, hilirisasi batubara menjadi DME hingga saat ini masih terkendala masalah keekonomian, mulai dari teknologi gasifikasi yang mahal, yang dapat berdampak pada harga produk akhir yang bisa lebih tinggi dari LPG.
"Jadi mungkin kendala faktor kelayakan ekonomi bisa diatasi dengan Danantara ikut terlibat," tambahnya.
Meski begitu Hendra memberi catatan, proyek DME adalah proyek jangka panjang, sehingga tidak bisa langsung dirasakan manfaatnya. Ia memberi rentang tiga sampai empat tahun, atau jika dimulai sekarang, maka Indonesia bisa merasakan keuntungan DME pada tahun 2030.
"Proyeknya mungkin tiga sampai empat tahun lagi, kira-kira di 2030. Karena pengelolaan ini gasifikasi kan Itu lebih ke kalori yang rendah kan supaya bisa di-utilize (manfaatkan) lebih," jelas Hendra.
Pekerjaan Rumah (PR) lain yang harus dikejar Indonesia jika memang serius menggarap DME kata dia adalah menemukan pasar atau market yang dipastikan dapat menyerap DME.
Hendra bahkan mengakui, kalangan pengusaha tambang khususnya batubara hingga kini masih kesulitan melihat pasar potensial yang menyerap DME ini.
"Kita menghasilkan DME, kita gak tau DME harganya bagaimana ya, dan itu kan proyeknya jangka panjang, jadi kita juga sama sekali bisa dikatakan blank, gak tau marketnya," ungkapnya.
Kedepan, Hendra meminta keseriusan pemerintah dan Danantara jika ingin melanjutkan proyek ini.
"Poin-poin itu kan harusnya sudah well taken by government, udah tau ya dan dipetakan. Apalagi Danantara kan banyak expert di situ," tutupnya.
Baca Juga: Usai Air Product Cabut, PTBA Ungkap Proyek DME Dilirik China
Selanjutnya: WIKA Catat Rugi Rp 1,66 Triliun per Semester I 2025, Ini Kata Manajemen
Menarik Dibaca: Fitur Lifestyle Hadir di PLN Mobile, Perluas Layanan ke Ranah Hiburan dan Gaya Hidup
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News