kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.970.000   24.000   1,23%
  • USD/IDR 16.319   -22,00   -0,13%
  • IDX 7.469   124,49   1,70%
  • KOMPAS100 1.044   14,12   1,37%
  • LQ45 790   8,31   1,06%
  • ISSI 251   6,62   2,71%
  • IDX30 409   4,38   1,08%
  • IDXHIDIV20 473   6,01   1,29%
  • IDX80 118   1,61   1,38%
  • IDXV30 122   3,33   2,82%
  • IDXQ30 131   1,50   1,16%

Tarif Impor AS Turun, Pasar Domestik Terancam Banjir Produk Impor


Rabu, 23 Juli 2025 / 19:22 WIB
Tarif Impor AS Turun, Pasar Domestik Terancam Banjir Produk Impor
ILUSTRASI. KONTAN/Cheppy A. Muchlis/09/07/2025. Penurunan tarif Amerika Serikat (AS) atas produk ekspor Indonesia dari 32% menjadi 19% disambut sebagai angin segar jangka pendek.


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Penurunan tarif Amerika Serikat (AS) atas produk ekspor Indonesia dari 32% menjadi 19% disambut sebagai angin segar jangka pendek. Namun, kalangan ekonom memperingatkan adanya kompensasi besar yang berisiko menekan industri dalam negeri dan memperburuk neraca perdagangan ke depan.

Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan INDEF, M. Rizal Taufikurahman menilai, meski kabar ini meredakan ancaman langsung, kesepakatan bilateral tersebut berisiko menggerus fondasi kebijakan industri nasional.

“Indonesia memang berhasil menghindari kenaikan tarif yang sebelumnya direncanakan AS, tetapi sebagai gantinya, kita membuka hampir seluruh pasar domestik kita untuk barang-barang dari AS,” ujar Rizal kepada Kontan, Rabu (23/7).

Dalam siaran pers yang dirilis Gedung Putih pada hari yang sama, disebutkan bahwa Indonesia akan menghapus lebih dari 99% hambatan tarif terhadap produk industri dan pertanian asal AS. Sebagai balasan, AS menurunkan tarif produk Indonesia menjadi 19% melalui Executive Order 14257 yang diteken 2 April 2025.

Baca Juga: Kelanjutan Tarif AS: Trump Minta Kritikal Mineral Diekspor, Ini Kata Pengusaha

Namun menurut Rizal, paket kesepakatan tersebut tidak sekadar soal tarif. Di dalamnya, Indonesia juga menyetujui pelonggaran besar terhadap hambatan non-tarif, seperti pencabutan inspeksi pra-pengapalan untuk produk pertanian AS, pengakuan standar keselamatan kendaraan dan sertifikasi FDA, serta pembebasan lisensi impor.

“Semua ini selama ini adalah pilar penting dalam kebijakan hilirisasi dan substitusi impor kita. Kalau dicabut sekaligus, maka dampaknya bisa sangat struktural,” kata Rizal.

Tak hanya itu, Indonesia juga berkomitmen untuk melakukan pembelian dalam skala besar, mulai dari pesawat Boeing, energi, hingga produk pertanian AS. Tanpa strategi ekspor balik bernilai tambah, pembelian ini bisa memperdalam defisit transaksi berjalan RI.

Rizal menekankan perlunya mitigasi fiskal dan industrialisasi yang transparan sebelum implementasi penuh dilakukan. Karena masih berbentuk kerangka kesepakatan, ia menyarankan pemerintah untuk menegosiasikan sejumlah hal penting, seperti: jadwal implementasi (phase-in) yang realistis, aturan asal barang (rules of origin) yang ketat agar manfaat dagang tidak bocor ke negara ketiga melalui skema transshipment, mekanisme snapback atau safeguard kuantitatif jika lonjakan impor merugikan industri lokal.

“AS sendiri juga menekankan pentingnya penegakan terhadap praktik transshipment, jadi ini bisa jadi ruang negosiasi,” ujar Rizal.

Di sisi lain, pemerintah Indonesia juga bisa menggunakan masa implementasi sebagai peluang untuk menawar penurunan bertahap atas tarif 19% yang masih tergolong tinggi dibandingkan rerata tarif AS.

Ekonom CELIOS Bhima Yudhistira menilai kesepakatan ini lebih banyak menguntungkan pihak AS ketimbang Indonesia.

“Ini bukan win-win solution. Tarif 19% atas ekspor Indonesia ke AS, sementara AS mendapat fasilitas 0% jelas merugikan kepentingan Indonesia. Impor produk AS akan membengkak,” kata Bhima kepada Kontan, Rabu (23/7).

Bhima memaparkan, beberapa sektor yang diperkirakan akan mengalami lonjakan impor mencakup migas, produk elektronik, suku cadang pesawat, serealia seperti gandum dan jagung, serta produk farmasi. Tercatat, total impor lima komoditas ini sepanjang 2024 telah mencapai US$5,37 miliar atau setara Rp 87,3 triliun.

“Yang paling rawan adalah pelebaran defisit migas, yang bisa menekan kurs rupiah dan menyebabkan lonjakan subsidi energi pada RAPBN 2026. Pemerintah mengusulkan Rp203,4 triliun, padahal kemungkinan dibutuhkan Rp300 triliun–Rp320 triliun,” ungkap Bhima.

Ia juga menyoroti potensi kerugian akibat ketergantungan impor minyak dan LPG yang semakin tinggi. Dalam skenario terburuk, Indonesia bisa terikat membeli minyak dari AS dengan harga di atas pasar karena tekanan hasil negosiasi dagang.

“Kalau nanti Indonesia diwajibkan beli minyak atau LPG dari AS dengan harga premium, padahal Pertamina biasa dapat harga lebih murah, ini bisa membebani fiskal. Ini jadi momen penting untuk mempercepat transisi energi dan mengurangi ketergantungan terhadap fosil,” lanjutnya.

Bhima juga mengkhawatirkan dampak kesepakatan terhadap sektor industri dalam negeri, terutama menyusul pernyataan Presiden AS Donald Trump yang berulang kali menuntut akses pasar terhadap tembaga Indonesia. Ia menilai ini bisa mengganggu arah hilirisasi tambang tembaga nasional.

“Permintaan akses ekspor konsentrat tembaga dari AS ini bisa jadi tekanan agar Freeport mendapat perpanjangan izin relaksasi ekspor. Ini berisiko besar bagi strategi hilirisasi kita,” ujarnya.

Di sisi fiskal, Bhima memperkirakan Indonesia akan kehilangan potensi penerimaan bea masuk sebesar Rp7,68 triliun per tahun dari produk-produk asal AS akibat penghapusan tarif.

“Ini tentu akan memperlebar defisit APBN dan membuka ruang penambahan utang baru. Efek domino ini harus diwaspadai,” tegas Bhima.

Tak hanya industri, sektor pangan domestik juga disebut bakal terpukul. Dengan tarif 0% atas 99% produk AS, Bhima memperkirakan ekspor kedelai, jagung, hingga susu bubuk dari Negeri Paman Sam akan membanjiri pasar Indonesia dan memukul produsen lokal.

“Produsen pangan lokal bisa kalah bersaing. Peternak susu dan koperasi pengolahan susu akan menjerit karena produk impor lebih murah dan masuk tanpa bea masuk,” ungkapnya.

Bhima menekankan, pemerintah perlu berhati-hati dan meninjau kembali dampak jangka panjang kesepakatan ini.

“Jangan sampai kebijakan ini justru memperburuk posisi perdagangan dan fiskal kita ke depan,” pungkasnya.

Baca Juga: Belum Berlaku, Tarif Impor Trump 19% untuk Indonesia Masih Tunggu Ini

Selanjutnya: Ini Respon Jamkrida Bali Terkait Adanya Aturan Pembagian Risiko Kredit

Menarik Dibaca: Fitur Lifestyle Hadir di PLN Mobile, Perluas Layanan ke Ranah Hiburan dan Gaya Hidup

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
[Intensive Workshop] AI-Driven Financial Analysis Executive Finance Mastery

[X]
×