Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Sanny Cicilia
JAKARTA. Pengusaha batubara mulai patah arang. Harga jual batubara di pasar internasional yang semakin lesu turut menyeleksi jumlah perusahaan tambang batubara yang bisa melanjutkan bisnis mereka di tahun ini. Dari 1.052 perusahaan tambang batubara yang masuk dalam tahap produksi, baru 253 perusahaan saja yang telah diberikan izin ekspor sebagai eksportir terdaftar (ET).
Adapun perincian perusahaan yang mendapatkan izin sebagai ET adalah: 39 perusahaan pemegang perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara (PKP2B), sedangkan sisanya merupakan pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan trader. Adapun pemegang PKP2B yang belum mendapat izin jumlahnya 16 perusahaan.
Sukhyar, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengatakan, besar–kecilnya produksi batubara nasional sangat dipengaruhi ketahanan pengusaha terhadap kondisi harga batubara yang rendah. Pemerintah tak bisa mengintervensi dengan pembatasan volume produksi maupun ekspor batubara nasional agar membuat harga jual batubara bisa naik.
Rendahnya harga jual batubara yang kini hanya sekitar US$ 64 per ton membuat sebagian pengusaha penghasil batubara kalori rendah menghentikan sementara kegiatan produksi mereka hingga harga batubara stabil.
Pasalnya, biaya pokok produksi saat ini sudah lebih mahal ketimbang dengan harga jual batubara. "Produksi batubara sekarang lebih banyak kalori sedang dan kalori tinggi," ujar dia, Senin (5/1).
Dari sekitar 997 perusahaan pemegang IUP yang berproduksi dan 55 PKP2B tahapan produksi, saat ini masih ada produsen batubara pemegang PKP2B yang belum memiliki izin ekspor. "Dilihat dari data rekomendasi ET, ada 16 perusahaan PKP2B yang belum mengajukan permohonan, atau sengaja tidak berproduksi di tahun ini," kata Sukhyar.
Dalam catatan Kementerian ESDM, sejumlah PKP2B yang belum mengajukan rekomendasi ET tersebut sebagian besar merupakan perusahaan yang memiliki cadangan batubara kalori rendah. Alhasil, pengusaha akan mempertimbangkan untuk menahan kegiatan produksi hingga harga batubara kembali naik lagi.
Ogah renegosiasi
Di tengah harga batubara yang susut, pemerintah saat ini berupaya melakukan renegosiasi kontrak dengan perusahaan pemegang PKP2B. Sukhyar menyebut, perusahaan yang paling sulit diajak renegosiasi adalah BHP Billiton Ltd. Perusahaan asal Australia ini memiliki tujuh anak usaha PKP2B di Indonesia.
Ganjalan renegosiasi dengan BHP Billiton antara lain karena mereka hanya mau mendivestasi saham sebesar 40% saham. "Sedangkan pemerintah tetap menginginkan 51%," kata Sukhyar.
Kalau mereka sepakat isu divestasi ini Sukhyar memperkirakan lima poin renegosiasi akan cepat selesai. Adapun ketujuh anak usaha BHP Billiton, yaitu, PT Ratah Coal, PT Juloi Coal, PT Lahai Coal, PT Pari Coal, PT Sumber Barito Coal, PT Kalteng Coal, dan PT Maruwai Coal.
Alasan, BHP Billiton meminta divestasi 40% karena dalam rencana kerjanya akan membangun pabrik pencampuran batubara (blending) untuk mendapatkan kualitas batubara berkalori tinggi.
Selain BPH Billiton tersebut, masih ada sekitar 12 perusahaan PKP2B lainnya yang masih belum bersedia menandatangani nota kesepahaman amandemen kontrak. Yaitu, PT Delta Mining Corporation, PT Karya Bumi Baratama, PT Barasentosa Lestari, PT Nusantara Termal Coal, dan Kalimantan Energi Lestari.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News