Reporter: Muhammad Yazid | Editor: Hendra Gunawan
JAKARTA. Niat pemerintah membatasi produksi batubara bertujuan mulia. Yakni, pemerintah peduli untuk menjaga sumberdaya alam untuk kelangsungan anak cucu kita. Apalagi, kebijakan itu juga sesuai amanat Pasal 5 UU No 4/ 2009 tentang Mineral dan Batubara dan PP No 23/2010 Pasal 84 hingga Pasal 91 soal pengendalian produksi hasil tambang.
Meski berniat membatasi, pemerintah hingga kini tak kunjung mengatur kuota produksi provinsi seperti yang acap diucapkan. Yang justru mengejutkan, pemerintah malah sudah mematok target produksi batubara tahun depan lebih dari 460 juta ton.
Alasannya: pemerintah ingin mendongkrak penerimaan negara bukan pajak (PNBP) dari sektor pertambangan batubara yang besar. Pasalnya, dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), setoran PNBP batubara ditargetkan naik Rp 10 triliun menjadi Rp 49,67 triliun.
Dalam simulasi di Kementerian ESDM, pilihan untuk memenuhi target penerimaan negara ini cuma ada dua. Pertama menaikkan tarif royalti, kedua dari kenaikan volume produksi batubara.
Kedua pilihan ini tentu akan bertentangan dengan keinginan semula untuk membatasi produksi batubara. Jika pun batal direm, pemerintah akan menetapkan, produksi batubara tahun depan tak berubah dari tahun 2014 alias stagnan. Tujuannya: agar harga batubara tak kian jatuh.
Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM Sukhyar mengatakan, pemerintah akan menyerahkan harga batubara ke pasar. Makanya, pemerintah tidak akan mengintervensi dengan membatasi produksi.
Budi Santoso, Ketua Working Group Kebijakan Perhimpunan Ahli Pertambangan Indonesia (Perhapi) mengkritik bahwa pola pikir pemerintah yang mengandalkan penerimaan negara dari bea keluar ekspor batubara.
Menurutnya, pemerintah seharusnya tidak menganggap batubara sebagai komoditas penghasil penerimaan di APBN. "Harusnya pemerintah menjadikan batubara sebagai komoditas strategis untuk menjamin ketersediaan energi di tanah air," kata dia.
Dengan mengandalkan penerimaan dari royalti batubara dan bea keluar, sama saja, pemerintah tidak serius menjadikan komoditas batubara sebagai cadangan energi nasional di masa mendatang.
Selain itu, saat ini, pemerintah juga kurang memperhatikan ketersediaan batubara untuk kebutuhan pembangkit listrik dalam negeri atau sering disebut dengan domestic market obligation (DMO).
Padahal, semula Kementerian ESDM berencana menetapkan kewajiban memasok batubara ke dalam negeri hanya ke penambang yang hasil kualitas produknya sesuai dengan keperluan domestik.
Saat ini kualitas produk batubara Indonesia sangat beragam, mulai dari kalori di bawah 3.000 kkal/kg hingga lebih dari 6.000 kkal/kg.
Adapun kualitas batubara yang dibutuhkan di dalam negeri antara 4.200 kkal/kg hingga 5.500 kkal/kg.
Karena teknis susah dilaksanakan, pemerintah nampaknya mulai patah arang. Lihat saja, pemerintah kembali mewajibkan DMO kepada semua perusahaan batubara.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News