kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.468.000   -2.000   -0,14%
  • USD/IDR 15.946   -52,00   -0,33%
  • IDX 7.161   -53,30   -0,74%
  • KOMPAS100 1.094   -8,21   -0,74%
  • LQ45 872   -4,01   -0,46%
  • ISSI 216   -1,82   -0,84%
  • IDX30 446   -1,75   -0,39%
  • IDXHIDIV20 540   0,36   0,07%
  • IDX80 126   -0,84   -0,67%
  • IDXV30 136   0,20   0,15%
  • IDXQ30 149   -0,29   -0,20%

Ada 25 konflik besar tata ruang yang belum selesai


Selasa, 11 November 2014 / 10:28 WIB
Ada 25 konflik besar tata ruang yang belum selesai


Sumber: Kompas.com | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie

JAKARTA. Sejak tahun 2010, terdapat 25 kasus skala besar konflik antarsektor yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang yang belum diselesaikan. Seluruh kasus konflik tersebut ditangani Badan Koordinasi Perencanaan Ruang Nasional (BKPRN).

Demikian diungkapkan Ketua Umum Ikatan Ahli Perencana Indonesia (IAP), Bernardus Djonoputro terkait kasus konflik dan potensi konflik tata ruang baru pada kementerian-kementerian yang baru dibentuk Presiden RI Joko Widodo, kepada Kompas.com, Senin (10/11).

Di antara 25 kasus konflik besar tersebut, beber Bernardus, adalah reklamasi Teluk Benoa, Bali, rencana tata ruang wilayah (RTRW) Kota Palangkaraya karena berada di kawasan hutan lindung, rencana reklamasi waterfront city di Banten, pengembangan pabrik tekstil dan konflik kehutanan yang melibatkan perusahaan minyak dan gas di provinsi Riau, dan lain-lain.

"Sayangnya, BKPRN hanya menangani kasus konflik tersebut yang sifatnya rekomendasi. Di lapangan tidak tercapai pemecahan dan pengendalian yang tepat. Karena semua sektor ngotot. Mereka menempuh jalan pintas dengan menciptakan holding zone, sebuah konsep pengendalian sementara yang sangat riskan terhadap penyalahgunaan tata ruang," ujar Bernardus.

Penanganan yang parsial ini, kata dia, akan memengaruhi kepastian hukum produk rencana, sehingga berpotensi mengganggu kegiatan investasi. Pada gilirannya, percepatan akselerasi pembangunan pun terhambat.

"Oleh karena itu, dibutuhkan penanganan komprehensif dalam satu atap sesuai amanat Undang-undang yakni di bawah Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Kasus-kasus konflik tersebut seharusnya tidak terjadi jika perencanaan tata ruang ada dalam satu atap kewenangan," imbuh Bernardus.

Dia melanjutkan, dengan dibentuknya Kementerian Agraria dan Tata Ruang, maka semua fungsi perencanaan tata ruang harus berada dalam satu atap. Selama ini, fungsi tata ruang ada di 8 direktorat dan kementerian yang menyebabkan konflik-konflik ruang tak kunjung selesai.

"Permasalahan yang paling urgent sekarang adalah bagaiman koordinasi, pengendalian dan pengawasan rencana tata ruang wilayah nasional (RTRWN), 34 rencana tata ruang provinsi (RTRP), dan 500-an rencana tata ruang wilayah (RTRW Kota/Kab) dan lebih dari 4.000-an rencana detail tata ruang (RDTR) Kecamatan dan Kawasan Khusus," terang Bernardus.

Bernardus kemudian menyoroti penyusunan struktur organisasi di Kementerian Pekerjaan Umum (PU) dan Perumahan Rakyat (Pera) yang dinilainya sangat dipaksakan dan mencerminkan egoisme sektoral. Pasalnya, dalam organisasi baru tersebut terdapat Direktorat Jenderal Pengembangan Wilayah.

"Pembentukan Ditjen Pengembangan Wilayah sangat kami sesalkan. Semua sudah jelas harus meruntuhkan egoisme sektoral, kok masih saja memaksakan dengan membentuk Ditjen Pengembangan Wilayah," pungkasnya. (Hilda B Alexander)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×