Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat
Dalam siaran resmi di laman Kementerian ESDM, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Sujatmiko mengungkapkan bahwa ada tujuh skema hilirisasi batubara yang tengah dikembangkan oleh pemerintah, yakni gasifikasi batubara, pembuatan kokas (cokes making), underground coal gasification, pencairan batubara, peningkatan mutu batubara, pembuatan briket, dan coal slurry/coal water mixture .
"Tujuh hilirisasi ini masa depan batubara kita agar menjadi tulang punggung (backbone) energi baik di Indonesia maupun dunia," ungkap Sujatmiko.
Dalam paparannya, Kementerian ESDM menargetkan penambahan 3 fasilitas peningkatan mutu batubara (coal upgrading) pada tahun 2024, 2026, dan 2028 dengan kapasitas masing-masing mencapai 1,5 juta ton/tahun.
Sementara proses gasifikasi akan dilakukan oleh PT Bukit Asam sebagai upaya subtitusi Liquified Petroleum Gas (LPG) melalui Dimethyl Ether (DME) yang beroperasi pada tahun 2024. Hal serupa dilakukan oleh PT KPC dengan kapasitas kurang lebih 4 juta ton.
Untuk penambahan pabrik briket direncanakan rampung pada tahun 2026 dan 2028 berkapasitas 20 ribu ton per tahun, sedangkan rencana dua fasilitas cokes making akan selesai di tahun yang sama dengan kapasitas kurang lebih satu juta ton.
Guna mempercepat hilirisasi, sambung Sujatmiko, pemerintah telah menyiapkan insentif fiskal dan non fiskal agar proyek hilirisasi lebih ekonomis. Insentif non fiskal yang diberikan antara lain berupa izin usaha selama umur cadangan tambang. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi 20 tahun.
Sementara insentif fiskal berupa pembebasan royalti bagi batubara yang dijadikan bahan baku hilirisasi. Royalti 0% itu diyakini tidak akan mengurangi penerimaan negara. Pasalnya, hilirisasi mampu menciptakan efek berganda yakni membuka lapangan kerja serta menggerakkan roda perekonomian daerah.
Dengan efek berganda itu, maka penerimaan negara yang hilang dari royalti nol persen akan tersubstitusi. "Kalau industri jalan maka secara agregat pajak memberi keuntungan bagi negara. Bagi daerah juga berdampak untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang," ujar Sujatmiko.
Adapun, jaminan perizinan jangka panjang tersebut antara lain dapat merujuk pada UU No. 3 Tahun 2020 Pasal 47 huruf (f) dan (g), bahwa untuk pertambangan mineral logam dan batubara yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian selama 30 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.
Pengaturan serupa juga terdapat pada Pasal 83 huruf (g) dan (h). Juga Pasal 169 A ayat (5) yang mengatur khusus untuk pemegang IUPK kelanjutan operasi kontrak/perjanjian.
Sedangkan terkait royalti 0% terdapat pada UU Cipta Kerja klaster energi-pertambangan. Pasal 128 A ayat (2) mengatur adanya pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara untuk kegiatan peningkatan nilai tambang batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.
Selanjutnya: Deretan insentif hilirisasi batubara: Izin seumur tambang hingga royalti 0%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News