kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,75   -27,98   -3.02%
  • EMAS1.327.000 1,30%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada insentif izin seumur tambang, begini catatan IMEF untuk hilirisasi batubara


Minggu, 18 Oktober 2020 / 17:50 WIB
Ada insentif izin seumur tambang, begini catatan IMEF untuk hilirisasi batubara
ILUSTRASI. Pemerintah memberi insentif untuk hilirisasi batubara. Antara lain berupa izin seumur cadangan tambang.


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Pemerintah membagikan insentif fiskal maupun non-fiskal untuk hilirisasi batubara. Insentif tersebut berupa izin seumur cadangan tambang hingga pemberian royalti 0%.

Indonesian Mining and Energy Forum (IMEF) memberikan sejumlah catatan terkait dengan hilirisasi batubara. Ketua IMEF Singgih Widagdo menilai, pemberian insentif tersebut sebagai upaya mempercepat para penambang pemegang PKP2B yang akan berubah menjadi IUPK untuk masuk ke hilirisasi batubara.

Namun, Singgih berpandangan bahwa hal tersebut belum sepenuhnya akan terjadi.  Menurutnya, pemberian insentif berupa izin sampai umur cadangan tambang bisa jadi merupakan langkah yang tepat.

Namun, dalam aturan pelaksanaan berupa Peraturan Pemerintah (PP) harus dipertegas lagi, bahwa izin sampai umur tambang itu bukan untuk keseluruhan kapasitas produksi tambang batubara, tetapi sebatas volume batubara yang dibutuhkan dalam proyek hilirisasi.

"Mengingat dari seluruh produksi bisa jadi justru sebagian besar diperuntuhkkan kepentingan di luar kebutuhan hilirisasi. Posisi coal mine-plan harus diperjelas agar selama proses hilirisasi, tidak bias terhadap produksi yang diperuntukkan diluar proses hilirisasi," kata Singgih kepada Kontan.co.id, Minggu (18/10).

Baca Juga: Selain izin seumur tambang, pembeli produk hilir batubara juga harus tersedia

Dia bilang, masih banyak pekerjaan rumah yang harus diperhatikan dalam proyek peningkatan nilai tambah tersebut. Apalagi, hilirisasi merupakan proyek baru yang bukan sepenuhnya berada di lingkup industri pertambangan, tetapi di industri kimia.

Oleh sebab itu, efektivitas insentif juga akan ditentukan dari bagaimana serapan pasar atas produk hilirisasi batubara, skema substitusi impor misalnya dari DME pada LPG, serta garansi dan harga produk yang dihasilkan. "Semuanya ada di wilayah bisnis chemical industry dan bukan mining industry lagi, sehingga budaya bisnis sangat berbeda. Kalkulasi bisnis dan pasar juga berbeda, sehingga penambang akan berhitung dengan detail," kata Singgih.

Kendati begitu, hilirisasi batubara tetap dinilai sebagai langkah yang strategis, mengingat  selama ini batubara lebih dominan ditempatkan sebagai komoditas. Pasalnya 75% dari total produksi batubara nasional diperuntukkan sebatas sebagai revenue driver bagi pendapatan negara. Sisanya, 25% untuk kebutuhan di dalam negeri, yang 70% -nya untuk kebutuhan kelistrikan.

"Dengan hilirisasi, jelas batubara bukan sebatas sebagai revenue driver semata, namun dapat memperkuat perannya sebagai economic booster untuk memperbesar multiplier effect," jelas Singgih.

Hanya saja, dia mengingatkan, hilirisasi batubara bukan berarti bisa memperbesar serapan domestik dengan cepat. Singgih mengkalkulasi, dari proyek DME (PTBA, Pertamina, Pupuk Indonesia dan Chandra Asri) serta proyek Methanol (Bumi Resources) sebatas menambah serapan sebesar 13,5 juta ton.

"Dengan total produksi nasional sebesar 550 juta ton (target tahun 2020), tetap menjadi pekerjaan rumah Kementerian ESDM, yaitu pengendalian produksi yang tetap diperlukan," tandas Singgih.

Baca Juga: Soal janji insentif izin usaha seumur tambang batubara, ini tanggapan IMA

Dalam siaran resmi di laman Kementerian ESDM, Direktur Pembinaan Pengusahaan Batubara Sujatmiko mengungkapkan bahwa ada tujuh skema hilirisasi batubara yang tengah dikembangkan oleh pemerintah, yakni gasifikasi batubara, pembuatan kokas (cokes making), underground coal gasification, pencairan batubara, peningkatan mutu batubara, pembuatan briket, dan coal slurry/coal water mixture .

"Tujuh hilirisasi ini masa depan batubara kita agar menjadi tulang punggung (backbone) energi baik di Indonesia maupun dunia," ungkap Sujatmiko.

Dalam paparannya, Kementerian ESDM menargetkan penambahan 3 fasilitas peningkatan mutu batubara (coal upgrading) pada tahun 2024, 2026, dan 2028 dengan kapasitas masing-masing mencapai 1,5 juta ton/tahun.

Sementara proses gasifikasi akan dilakukan oleh PT Bukit Asam sebagai upaya subtitusi Liquified Petroleum Gas (LPG) melalui Dimethyl Ether (DME) yang beroperasi pada tahun 2024. Hal serupa dilakukan oleh PT KPC dengan kapasitas kurang lebih 4 juta ton.

Untuk penambahan pabrik briket direncanakan rampung pada tahun 2026 dan 2028 berkapasitas 20 ribu ton per tahun, sedangkan rencana dua fasilitas cokes making akan selesai di tahun yang sama dengan kapasitas kurang lebih satu juta ton.

Guna mempercepat hilirisasi, sambung Sujatmiko, pemerintah telah menyiapkan insentif fiskal dan non fiskal agar proyek hilirisasi lebih ekonomis. Insentif non fiskal yang diberikan antara lain berupa izin usaha selama umur cadangan tambang. Artinya, izin usaha pertambangan tidak lagi dibatasi 20 tahun.

Sementara insentif fiskal berupa pembebasan royalti bagi batubara yang dijadikan bahan baku hilirisasi. Royalti 0% itu diyakini tidak akan mengurangi penerimaan negara. Pasalnya, hilirisasi mampu menciptakan efek berganda yakni membuka lapangan kerja serta menggerakkan roda perekonomian daerah.

Dengan efek berganda itu, maka penerimaan negara yang hilang dari royalti nol persen akan tersubstitusi. "Kalau industri jalan maka secara agregat pajak memberi keuntungan bagi negara. Bagi daerah juga berdampak untuk pengembangan infrastruktur dan ekonomi penunjang," ujar Sujatmiko.

Adapun, jaminan perizinan jangka panjang tersebut antara lain dapat merujuk pada UU No. 3 Tahun 2020 Pasal 47 huruf (f) dan (g), bahwa untuk pertambangan mineral logam dan batubara yang terintegrasi dengan fasilitas pengolahan dan/atau pemurnian selama 30 tahun dan dijamin memperoleh perpanjangan selama 10 tahun setiap kali perpanjangan setelah memenuhi persyaratan.

Pengaturan serupa juga terdapat pada Pasal 83 huruf (g) dan (h). Juga Pasal 169 A ayat (5) yang mengatur khusus untuk pemegang IUPK kelanjutan operasi kontrak/perjanjian.

Sedangkan terkait royalti 0% terdapat pada UU Cipta Kerja klaster energi-pertambangan. Pasal 128 A ayat (2) mengatur adanya pemberian perlakuan tertentu terhadap kewajiban penerimaan negara untuk kegiatan peningkatan nilai tambang batubara dapat berupa pengenaan royalti sebesar 0%.

Selanjutnya: Deretan insentif hilirisasi batubara: Izin seumur tambang hingga royalti 0%

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
EVolution Seminar Practical Business Acumen

[X]
×