Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Program insentif mobil listrik dinilai menghadapi kendala berupa skema atau restitusi lamanya penggantian biaya dari produsen, di mana hak tersebut berdampak bagi dealer dalam penerapannya. Selain itu, infrastruktur berupa charging station juga menjadi salah satu penyebab program insentif mobil listrik berjalan kurang mulus.
Menanggapi kendala ini, sejumlah pelaku industri atau asosiasi dan Kadin berdiskusi untuk mengevaluasi program kebijakan
Wakil Ketua Umum Bidang Perindustrian Kadin Bobby Gafur Umar mengatakan, kondisi restitusi berdampak atau kemacetan dalam penyaluran insentif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari produsen ke dealer.
"Dari produsen masih membebankan kepada dealer 11%, sedangkan insentif itu hanya 1%. Dari 10% itu nanti dealer bisa direstitusi ke produsen dan kemudian ke pemerintah," kata Bobby saat ditemui Kontan.co.id, di Menara Kadin, Jakarta, Rabu (21/6).
Bobby menerangkan, pergantian bantuan ini langsung dari hilir untuk menyederhanakan produsen dari program bantuan pembelian kendaraan listrik. Dia menyoroti mengapa tidak dai ujung langsung 1% sehingga tidak perlu adanya restitusi dan lain sebagainya.
Baca Juga: Realisasi Baru 800 Unit, Pemerintah Upayakan Evaluasi Program Subdisi Motor Listrik
Sementara itu, Kepala Staf Presiden sekaligus Ketua Umum Perkumpulan Industri Kendaraan Listrik Indonesia (Periklindo) Moeldoko menyoroti kendala yang perlu dievaluasi di antaranya terkait sasaran penerima manfaat hingga percepatan pembayaran subsidi pada dealer dalam kurun waktu satu atau dua bulan.
Moeldoko menuturkan, ada isu tentang mobil listrik, seperti charging station, baterai, waktu chargingnya, dan berbahaya tidak jika terkena air.
"Isu-isu tersebut masih ada di sekitar kita, maka tugas kita bersama para asosiasi berkumpul yang dipimpin oleh KADIN untuk memberikan sosialisasi," ujar dia.
Selain terkendala skema, Bobby juga menegaskan, pertama, Kadin selaku wadah organisasi asosiasi dan pelaku usaha mendukung program pemerintah ini. Hal ini lantaran menghemat devisa luar biasa besar dari sisi subsidi BBM.
Kedua, dari sisi emisi karbon, diharapkan bisa menumbuhkan suatu pertumbuhan ekonomi bernilai tambah dan menciptakan lapangan cipta baru.
"Dengan program insentif ini bisa mendekatkan harga kendaraan listrik dengan konsumennya," tutur dia.
Bobby menuturkan, KADIN Indonesia mengundang asosiasi ekosistem kendaraan listrik. Ada beberapa hal yang dibahas. Pertama, ada isu mengenai pemberian insentif dan bagaimana keberhasilan insentif ini.
Baca Juga: Jokowi Terbitkan PP Terkait Ketentuan Umum Pajak Daerah, Ini Kata KPPOD
"Pada intinya, pemberian insentif adalah bagaimana mendekatkan harga kendaraan listrik yang relatif mahal terhadap konsumen," ungkap dia.
Kedua, pihaknya mendorong untuk substitusi impor atau kenaikan TKDN. "TKDN ini tentu akan memberikan integral efek suatu ekonomi agar bernilai tambah," sambung dia.
Ketiga, yang terpenting soal sosialisasi. Sosialisasi ini di satu sisi akan meningkatkan lapangan kerja baru. Misalnya, ekosistem dari charger di mana UMKM akan berperan banyak.
Sementara itu, Ketua I Gaikindo Jongkie D Sugiarto mengatakan, Gaikindo memberikan masukan-masukan terhadap insentif kendaraan, terutama praktiknya di lapangan.
"Apa yang terjadi di lapangan, kesulitannya apa saja, dan supaya lancar. Dan supaya penjualan kendaraan listrik meningkat," kata dia.
Menurutnya, harus tersedia infrastruktur penunjang ekosistem kendaraan listrik. Ada usulan dari pelaku industri untuk pemerintah dan swasta bahwa lahan parkir atau tempat-tempat yang ada bisa dibangun charger station.
"Contohnya gedung perkantoran misalkan 1% dari gedung tersebut digunakan sebagai charging station. Pasang yang murah saja, jangan yang fastcharging. Kenapa tidak gedung-gedung swasta menyediakan charging station yang terjangkau sekitar 25 jutaan?," pungkas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News