Reporter: Handoyo | Editor: Adi Wikanto
Jakarta. Skema bantuan pembiayaan bagi pekerja informal untuk mendapatkan akses perumahan diyakini sebagai trobosan positif mengurangi backlog (kekurangan perumahan). Pekerja informal yang prospektif untuk mengikuti program ini adalah mereka mampu secara finansial tapi sulit untuk mendapat akses perbankan.
Direktur Eksekutif Indonesia Property Watch (IPW) Ali Tranghanda mengatakan, guna meminimalisir risiko gagal bayar maka peserta program ini perlu syarat yang didasarkan atas komunitas. Hal tersebut diperlukan sebagai upaya untuk melakukan verifikasi keabsahan dari masyarakat sehingga mudah diketahui latar belakang dan kemampuan anggarannya.
Komunitas yang dimaksud tersebut antara lain koperasi, atau organisasi kemasyaratan. "Tetapi tetap harus ada klarifikasi dari komunitas tersebut, karena banyak juga koperasi yang mendapat uang kemudian lari. Kalau perlu diberikan kuota," kata Ali, Selasa (4/10).
Secara sistem, skema bantuan pembiayan ini tidak jauh berbeda dengan pinjaman kredit bagi usaha kecil dan mengah (UKM). Bila sudah mendapat penjamin maka proses di bank tidak akan menjadi masalah.
Meski tidak memperinci, Ali bilang kebijakan ini perlu ada suntikan dana dari pemerintah. Bila beberapa poin tersebut dapat terpenuhi, program ini akan berjalan. "Program ini hampir sama dengan bantuan kredit pada UKM, tapi nilainya yang lebih tinggi," ujar Ali.
Ketua Housing Urban Development Institute, Zulfi Syarif Koto mengatakan, rumah merupakan hak dasar warga negara yang harus dipenuhi pemerintah. Selama ini pekerja informal secara finansial mampu untuk membayar. "Masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) non formal itu pangsa paling besar," kata Zulfi.
Ada berbagai cara untuk membantu sektor pekerja informal untuk mendapat akses perumahan. Pos-pos yang dimaksud tersebut melalui bantuan kredit usaha rakyat (KUR) atau lewat dana bergulir yang dikeluarkan oleh Kementerian Koperasi dan UKM.
Dengan pembiayaan berbasis tabungan, masyarakat diwajibkan membuka tabungan antara enam bulan hingga 1 tahun hingga mencapai batas minimal yakni 5% dari harga rumah. Setalah itu mereka akan mendapat akses bantuan pembiayaan perumahan plus bantuan uang muka sebesar 25%. Untuk angsurannya, mereka akan membayar sesuai dengan bunga komersiil.
Program ini rencananya akan mulai dilaksanakan pada tahun 2017 di beberapa wilayah sebagai pilot project. Targetnya sekitar 5.000 unit rumah dapat dibangun.
Market yang ingin disasar pemerintah dengan program pembiayaan berbasis tabungan adalah yang bergerak di sektor informal. Segmen itu memiliki daya beli, namun tidak memiliki akses ke program FLPP maupun Tapera.
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PU-PR) menyadari, bila kebijakan ini memiliki risiko yang tinggi. Saat ini formula penerapan kebijakan tersebut masih dalam tahap kajian. Perhitungan dari pembiayaan sangat kompleks.
Untuk menjalankan ini, pemerintah akan menggandeng perusahaan asuransi. "Itu yang harus kita manage risiko. Bagaimana dengan industri asuransi mudah-mudahan ada yang mau," kata Direktur Jenderal Pembiayaan Perumahan Kementerian PU-PR Maurin Sitorus.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News