kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45920,31   -15,20   -1.62%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ada skema cost reimbursment di rancangan perpres EBT


Senin, 27 Juli 2020 / 16:55 WIB
Ada skema cost reimbursment di rancangan perpres EBT
ILUSTRASI. Pemerintah tengah membahas rancangan peraturan presiden (perpres) tentang pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT).


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah tengah membahas rancangan peraturan presiden (perpres) tentang pembelian tenaga listrik energi baru dan terbarukan (EBT). Salah satu yang dibahas adalah pengembangan listrik EBT yang berasal dari panas bumi.

Merujuk pada draf perpres yang diterima Kontan.co.id, belied tersebut nantinya akan mengatur dukungan pemerintah terhadap pengembangan listrik dari energi bersih ini. Dalam pasal 20 ayat 3 disebutkan, salah satu bentuk dukungan pemerintah ialah dengan memberikan insentif fiskal berupa kompensasi biaya eksplorasi panas bumi.

Lebih lanjut, pasal 31 ayat 2 dan 3 menyebutkan bahwa pemberian kompensasi berupa sejumlah dana atas kegiatan eksplorasi dan pengembangan infrastruktur diberikan setelah beroperasi secara komersial alias Commercial Operation Date (COD).

Baca Juga: Mirip dengan migas, pengembangan WK Panas Bumi akan menggunakan skema cost recovery

Skema pengembangan wilayah kerja panas bumi (WKP) tersebut disebut-sebut mirip dengan pengembangan WK minyak dan gas bumi (migas) yang menggunakan skema cost recovery. Dengan begitu, pemerintah akan mengembalikan biaya operasi yang telah dikeluarkan oleh pengembang dalam eksplorasi WK Panas Bumi.

Ketua Asosiasi Panas Bumi Indonesia (API) Priyandaru Effendi tak mengamini hal tersebut. Lebih jelasnya, dalam pengembangan panas bumi, skema itu disebut sebagai cost reimbursement atau penggantian biaya.

"Di perpres dengan prinsip menyerupai cost recovery namanya adalah cost reimbursement," ungkapnya kepada Kontan.co.id, Senin (27/7).

Priyandaru menjelaskan, di sektor migas, terdapat entitlement (hak) pemerintah terhadap hasil produksi sehingga cost recovery bisa diambilkan dari bagian pemerintah. Sedangkan untuk panas bumi, entitlement pemerintah berupa pajak dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Lalu ada royalti dan production bonus untuk pemerintah daerah.

Menurut Priyandaru, mekanisme cost reimbursment ini diusulkan oleh pemerintah. Dia pun tidak secara langsung mengomentari tentang cost reimbursment ini. Sebab bagi pelaku usaha, menarik atau tidaknya mekanisme tersebut bergantung pada dua unsur.

Pertama, harga jual yang sesuai dengan keekonomian proyek. Kedua, adanya kepastian pengusahaan. "Apa pun mekanismenya selama memenuhi dua unsur itu pasti akan membuat proyek panas bumi menarik. Cost reimbursment bisa menjadi menarik bila yang dua di atas terpenuhi," kata Priyandaru.

Meskipun, dia juga mengakui bahwa pengembangan panas bumi saat ini cukup berat lantaran semua risiko eksplorasi ditanggung oleh pengembang. Yang jelas, saat ini pelaku usaha masih menunggu kejelasan terkait mekanisme yang diusulkan oleh pemerintah, baik dalam bentuk Perpres maupun lebih rinci di dalam Peraturan Menteri (Permen) ESDM.

"Untuk cost reinbursement yang diusulkan ini kita juga belum jelas skemanya seperti apa, karena entitlement-nya pemerintah di sini tidak seperti oil and gas," imbuhnya.

Baca Juga: Dorong pengembangan energi baru dan terbarukan di Indonesia, berikut strategi PLN




TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP) Negosiasi & Mediasi Penagihan yang Efektif Guna Menangani Kredit / Piutang Macet

[X]
×