Reporter: Dimas Andi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Energi Surya Indonesia (AESI) menilai, harga listrik yang bersumber dari Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) menunjukkan tren penurunan. Di sisi lain, pelaku usaha PLTS juga dihadapkan tantangan berupa tingginya harga bahan baku.
Ketua Umum AESI Fabby Tumiwa menjelaskan, harga listrik PLTS di Indonesia telah mengalami penurunan dari waktu ke waktu. Sebelum tahun 2015, harga listrik PLTS bisa mencapai kisaran US$ 20 sen per kWh.
Namun, setelahnya harga listrik PLTS terus menerus mengalami penurunan. Bahkan, harga listrik pada proyek seperti PLTS Bali Barat dan Bali Timur bisa di bawah US$ 6 sen per kWh. Begitu juga dengan proyek PLTS Terapung Cirata yang harga jual listriknya hanya US$ 5,8 sen per kWh.
Belanja modal atau capital expenditure (capex) untuk membangun PLTS juga mengalami penurunan. Fabby mencontohkan, tahun 2015 lalu capex proyek PLTS skala industri bisa mencapai kisaran US$ 2.000 per kWp. Di tahun-tahun berikutnya, capex pembangunan PLTS skala industri berangsur-angsur turun yakni menjadi sekitar US$ 800-900 per kWp.
Baca Juga: DMO Batubara untuk Sektor Kelistrikan Naik Tahun Depan
Tak hanya itu, Levelized Cost of Electricity (LCoE) PLTS-PLTS di Indonesia juga turun sekitar 40%-50% dalam 5 tahun terakhir. Sekadar catatan, LCoE merupakan alat yang umum dipakai untuk membandingkan biaya pembangkitan listrik dari berbagai macam teknologi.
“Penurunan LCoE Indonesia sebenarnya masih lebih rendah ketimbang tren secara global, termasuk dengan beberapa negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand,” ujar dia, Minggu (13/11).
Tentu peluang penurunan harga listrik, capex, dan LCoE PLTS masih sangat terbuka di tahun-tahun mendatang, sejalan dengan permintaan energi terbarukan yang semakin besar.
Hanya saja, para pengembang PLTS masih harus was-was karena adanya kenaikan harga komoditas yang menjadi bahan baku pembangkit tersebut semenjak masa pandemi. Ditambah lagi, dunia juga sempat dilanda gangguan logistik. Alhasil, biaya produksi PLTS menjadi bengkak.
Fabby mencontohkan, sebelum masa pandemi harga modul panel surya tercatat sekitar US$ 18 sen per watt-peak (Wp). Begitu pandemi berlangsung, harga modul tersebut melonjak sampai kisaran US$ 25—28 sen per Wp.
Baca Juga: Kepmen untuk PLTS Atap Masih Difinalisasi, akan Selesai November 2022
“Tetapi kami lihat ada beberapa laporan order di kuartal IV sampai awal tahun depan, harga modul panel surya mulai turun ke level US$ 23—25 sen per Wp. Ini tentu belum kembali seperti sebelum pandemi, karena harga material semuanya naik,” ungkap dia.
Dengan naiknya harga bahan baku, maka capex untuk membuat PLTS akan meningkat. Hal ini bisa berdampak melandai-nya penurunan LCoE PLTS baik secara global maupun di Indonesia.
“Meski begitu, tetap saja sebenarnya tren jangka panjang harga-harga material PLTS akan turun,” tandas dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News