Reporter: Petrus Dabu, Rika | Editor: Edy Can
JAKARTA. Pertamina memperbesar impor bahan bakar minyak (BBM) jenis premium (bensin) seiring dengan konsumsi yang melonjak tinggi pada saat arus mudik Lebaran. Tak tanggung-tanggung, impor Pertamina di Agustus ini pun melesat ke level tertinggi sepanjang sejarah.
Pertamina menyatakan, total impor selama bulan Agustus inimencapai 9 juta barel (1 barel = 0,16 kiloliter). "Ini impor tertinggi dalam sejarah Pertamina, biasanya 5,5 juta barel atau 6 juta barel itu sudah tinggi, " kata Vice President Coorporate Communication Pertamina, Mochammad Harun, kepada wartawan di Jakarta, Jumat (26/8). Sedangkan total volume produksi nasional per bulan rata-rata sekitar 12 juta barel.
Menurut Harun, Pertamina harus mengimpor bensin dari pasar Singapura demi menjaga stok BBM selama arus mudik dan arus balik Lebaran tahun ini. Soalnya, konsumsi premium terus meningkat, sementara 15 tahun terakhir ini tidak ada kilang baru yang dibangun di Indonesia. "Konsumsi di dalam negeri terus meledak tanpa ada upaya untuk mengerem, sehingga konsekuensinya impor jadi makin tinggi, "jelasnya.
Hingga Kamis (25/8), Pertamina sudah menyalurkan tambahan premium ke depot-depot SPBU di jalur mudik. "Secara nasional, kami sudah menyalurkan untuk beberapa depot utama ini 14% di atas rata-rata, " ujarnya.
Di saat normal, rata-rata konsumsi premium mencapai 62.000 kiloliter. Tapi saat ini, Harun bilang, rata-rata konsumsi nasional sudah naik 10.000 kl menjadi 72.000 kl. Diperkirakan, saat puncak arus mudik nanti atau pada H-3, konsumsi premium mencapai 98.000 kl. Ini juga akan memecahkan rekor tertinggi konsumsi premium.
Anggota Komite BPH Migas Adi Subagio menilai impor migas memang mau tak mau melonjak. "Akhir-akhir ini kebutuhan naik terus, sementara produksi nasional konstan," tuturnya. Menurut dia, penyebab masalah ini adalah selisih harga premium yang membesar. Ditambah lagi, jumlah mobil yang kian bertambah.
Ia juga menyoroti tambahan biaya yang ditanggung Pertamina dengan lonjakan impor itu. Soalnya, impor dari Singapura kebanyakan adalah bensin beroktan 88. Jadi, Pertamina harus mengolahnya dulu menjadi bensin beroktan 91 atau 92. "Kita sebenarnya rugi karena ini ada biaya tambahan," jelasnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News