kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,53%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Ahli hukum energi: Setop berunding dengan Freeport


Senin, 02 Oktober 2017 / 14:37 WIB
Ahli hukum energi: Setop berunding dengan Freeport


Reporter: Pratama Guitarra | Editor: Rizki Caturini

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Surat CEO Freeport McMoRan Inc, Richard Adkerson kepada Sekretaris Jenderal Menteri Keuangan (Menkeu) terkait dengan penolakan proses divestasi saham Freeport kembali menjadi polemik.

Hubungan Pemerintah dengan Freeport kembali memanas. Padahal sebulan yang lalu pemerintah mengklaim sudah ada kesepakatan final dengan Freeport. Menanggapi hal tersebut, Bisman Bhaktiar ahli hukum pertambangan yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi & Pertambangan (PUSHEP) justru mempertanyakan hal ini tidak sesuai dengan apa yang pernah disampaikan Pemerintah melalui Menteri ESDM pada 29 Agustus 2017 lalu.

“Saat itu Menteri ESDM menyampaikan bahwa dari hasil perundingan Pemerintah Indonesia dengan Freeport sudah ada hasil kesepakatan final, di antaranya kesepakatan divestasi 51% saham PT Freeport. Dengan adanya surat penolakan ini berarti apa yang disampaikan pemerintah saat itu tidak benar,” ujarnya melalui siaran pers yang diterima, Senin (2/10).

Ia menegaskan, sebaiknya pemerintah tidak perlu lagi bermanis-manis dan berlama-lama berunding dengan Freeport. “Sudah terbukti bahwa Freeport sulit diajak berunding dan kemungkinan juga tidak menjalankan hasil kesepakatan dan tidak akan patuh pada hukum Indonesia, contohnya ketentuan kewajiban membangun smelter toh sampai saat ini juga tidak dilaksanakan," tegasnya.

Adapun kata Bisman, terkait dengan divestasi ini, sebaiknya perlu lagi dipertimbangkan bahwa divestasi dari sudut pandang kepentingan nasional seolah-olah sangat nasionalis dan merupakan “kemenenangan” pemerintah Indonesia. Padahal tidak demikian. Divestasi juga harus dipertimbangkan dari sisi bisnis yang mempunyai potensi untung juga risiko kerugian.

Perlu menjadi perhatian divestasi ini adalah membeli saham yang artinya Pemerintah Indonesia atau BUMN akan mengeluarkan dana yang sangat besar untuk membeli saham Freeport.

Dia menambahkan dalam konteks Freeport yang kontraknya akan berakhir pada tahun 2021, langkah divestasi tidak tepat. Semestinya tunggu saja hingga tahun 2021 wilayah tambang milik Freeport di Timika Papua akan sepenuhnya kembali ke Pemerintah Indonesia tanpa harus divestasi membeli saham Freeport. Pengelolaan selanjutnya bisa oleh BUMN yang dapat bekerja sama dengan berbagai pihak.

Dengan divestasi justru akan menjebak Indonesia untuk memberikan perpanjangan terus kepada Freeport setelah kontrak karya berakhir pada tahun 2021. Padahal kalau Pemerintah tidak memperpanjang kontrak Freeport posisi tawar Indonesia akan jauh lebih tinggi.

Jadi sebaiknya pemerintah setop berunding dengan Freeport, tidak perlu lagi negosiasi tentang divestasi, perubahan KK menjadi IUPK, dan pemberian izin ekspor mineral mentah.

“Jangan lagi-lagi pemerintah dipaksa selalu mengikuti kepentingan Freeport, pemerintah harus konsisten menjalankan amanat UU Minerba. Sudah saatnya pemerintah tegas kepada Freeport agar tunduk dan patuh pada undang-undang yang berlaku di Indonesia,“ pungkasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×