Reporter: Amailia Putri Hasniawati, Asnil Bambani Amri |
JAKARTA. Gara-gara kebijakan pemerintah yang memberlakukan bea keluar untuk ekspor kakao sejak 1 April lalu, petani kakao la ngsung merasakan dampaknya. Yaitu, harga biji kakao di tingkat petani turun antara 30% hingga 40%. Penurunanan harga tersebut terjadi karena para eksportir harus menanggung BK tersebut. Maka, harga beli kakao dari petani yang umumnya dilakukan para pengumpul diturunkan.
Hasanudin, petani kakao asal Sulawesi Tengah, bilang, kini kakao produksi kebunnya hanya laku antara Rp 15.000-Rp 17.000 per kilogram (kg). Padahal, bulan-bulan sebelumnya bisa mencapai Rp 25.000 per kg.
Pepatah 'ibarat sudah jatuh tertimpa tangga pula' agaknya yang dialami petani kakao. Karena menurut Hasanudin, tidak hanya harga yang turun, tetapi para pengumpul kakao juga mengurangi volume pembelian mereka. Akibatnya, harga cenderung melemah karena faktor yang sangat mendasar tersebut.
“Kemungkinan harga bisa turun lagi karena minggu ini sudah masuk musim panen,” kata Hasanuddin, akhir pekan lalu. Jelas itu bukan gambaran yang menyenangkan bagi para petani kakao di Sulawesi Tengah yang panenan kakao mereka dalam seminggu bisa mencapai 15.000 ton.
Rupanya para petani juga tidak bisa berharap banyak dari industri pengolahan kakao lokal yang mestinya diuntungkan oleh kebijakan BK tersebut. Bahkan, menurut Hasanuddin, mereka tetap lebih suka menjual kakaonya kepada eksportir. menjual kepada ekspor tir ini lebih mudah.
Ketua Asosiasi Petani Kakao Indonesia (Apkai) Sulawesi SelatanA.Sulaiman Husain membenarkan, para eksportir memang langsung mendatangi kebun-kebun kako untuk membeli panenan petani. Mereka juga membayar pembelian tersebut secara tunai. Ini berbeda dengan pembeli di kalangan industri yang sering kali para petani pemilik kakao yang harus menawarkan kakao produksinya kepada mereka. Bukan hanya itu, pembayarannya juga tidak selalu secara tunai. Jelas cara ini merugikan petani yang juga butuh modal untuk kebunnya.
Selain itu, industri kakao juga membutuhkan biji kakao yang bagus, yaitu yang telah difermentasi. Selama ini, biji kakao petani yang difermentasi hanya sekitar 10% saja dari total produksi mereka."Petani cenderung memproduksi kakao asalan karena pasar kakao asalan juga menjanjikan," kata Sulaiman.
Selain itu, selisih harga kakao fermentasi dan kakao asalan masih sangat sempit, hanya Rp 2.000 per kg. Idealnya menurut Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian minimal perbedaan harganya Rp 4.000 per kg. Namun faktor yang juga penting, adalah bahwa selama ini penyerapan kakao oleh industri masih sangat kecil.
Toh Ketua Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI) Piter Jasman membantah industri lokal hanya membeli dengan harga rendah. Ia bilang, selama ini, industri kakao masih membeli biji kakao asalan seharga Rp 24.000 per kg."
Kalau ada petani yang menjual dengan harga Rp 15.000 per kg, kami sanggup membeli di atas harga itu," tandasnya. Dan memasuki musim panen sekarang ini, ia bilang, industri kakao siap menampung hasil panen ersebut.
Piter menjelaskan, selama ini, akibat kekurangan bahan baku biji kakao, industri pengolahan kakao sulit tumbuh. Buktinya, tingkat utilisasi pabrik pengolahan kakao hanya mencapai 110.000 ton per tahun dari kapasitas pabrik yang besarnya mencapai 300.000 ton per tahun. Ia bilang, beberapa industri pengolahan kakao juga tutup gara-gara bahan baku tersebut.
Menurut Piter, petani tetap bebas untuk menjual kakao mereka ke pedagang untuk ekspor, atau juga kepada industri pengolah di dalam negeri. "Jadi, tidak hanya tergantung pada satu pembeli saja untuk menghindari penekanan harga,” ujar Piter.
Kembali minta penundaan
Walaupun terus ada keberatan dari para eksportir biji kakao, rupanya Pemerintah tetap pada keputusannya untuk tetap memberlakukan BK tersebut. Malah akhir pekan lalu,Kementerian Perdagangan (Kemendag) merilis angka besaran BK kakao bulan Mei 2010, yaitu 10% dengan harga referensi di bursa New York Board of Trade (NYBOT) sebesar US$ 2.905,68 per ton. Besaran BK tersebut tidak berubah seperti yang berlaku pada bulan April ini.
Sementara Ketua Umum Asosiasi kakao Indonesia (Askindo) Halim A Razak tetap meminta penundaan pemberlakukan BK tersebut. Soalnya, yang terkena oleh kebijakan itu adalah petani. "Jika ada BK, maka pendapatan petani yang tergerus," katanya.
Untuk itu, Halim juga mengusulkan agar BK diterapkan secara kondisional. Dan kalau terjadi ada eksportir menekan harga kakao di tingkat petani, mestinya pemerintah harus membela petani dengan mewajibkan eksportir tersebut membayar selisihnya pada bulan berikutnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News