Reporter: Herry Prasetyo | Editor: Imanuel Alexander
Jakarta. Jaringan pita lebar alias broadband ibarat jalan tol bagi lalu lintas data dan informasi. Dengan jaringan pita lebar, akses internet bisa lebih cepat sehingga ujung-ujungnya bakal mendongkrak pertumbuhan ekonomi.
Sayangnya, penetrasi jaringan pita lebar di Indonesia masih terbilang minim. Pada tahun 2013, penetrasi fixed broadband alias pita lebar akses tetap baru mencapai 5% dari total populasi. Penetrasi fixed broadband untuk pengguna rumahtangga mencapai 15% dengan kecepatan 1 Mbps. Untuk gedung dan perkantoran, penetrasi fixed broadband mencapai 30% dengan kecepatan koneksi 100 Mbps. Sementara penetrasi jaringan pita lebar akses bergerak alias mobile broadband mencapai 12% dari total populasi dengan kecepatan 512 Kbps.
Infrastruktur serat optik untuk jaringan pita lebar saat ini juga masih terbatas. Hingga tahun 2012, jaringan tulang punggung serat optik baru mencapai 346 kabupaten kota atau 69,6% dari total kabupaten kota di Indonesia. Khusus untuk wilayah Maluku dan Papua, pembangunan serat optik baru dimulai tahun lalu.
Kondisi inilah yang mendorong pemerintah menyusun Rencana Pita Lebar Indonesia (RPI) 2014-2019. Kasubdit Pos, Telekomunikasi, dan Informatika Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Mira Tayyiba, mengatakan, jaringan broadband selama ini dibangun oleh swasta atau penyelenggara jaringan. Nah, penyusunan RPI dimaksudkan untuk memberikan arah dan panduan bagi percepatan perluasan pembangunan broadband nasional yang terintegrasi. Penyusunan RPI juga tuntutan Broadband Commission yang meminta semua negara memiliki rencana pita lebar tahun 2015.
Yang lebih penting, penyusunan RPI dibutuhkan untuk mendorong peningkatan pertumbuhan ekonomi dan daya saing nasional. Sebab, jaringan pita lebar bisa menjadi katalisator transformasi ekonomi. Riset Bank Dunia menyatakan, pertumbuhan ekonomi di negara dengan penghasilan rendah dan menengah meningkat 1,38% untuk setiap 10% peningkatan penetrasi broadband.
Budi Setiawan, Direktur Jenderal Sumber Daya dan Perangkat Pos dan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), mengatakan, di Indonesia, peningkatan penetrasi layanan 3G sebesar 10% dan penambahan 10 sambungan per 100 sambungan bisa meningkatkan 1,5% Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita.
Dalam RPI 2014-2019, ada enam program yang bakal jadi unggulan. Pertama, proyek Ring Palapa dalam bentuk pembangunan serat optik di seluruh kabupaten kota di Indonesia yang selama ini sudah berjalan. Kedua, pembangunan pipa bersama untuk mengakomodasi serat optik dari berbagai operator telekomunikasi.
Ketiga, proyek percontohan pita lebar terestrial pedesaan di wilayah yang termasuk dalam program kewajiban pelayanan universal (KPU) alias USO. Keempat, pembangunan pusat data pemerintah terintegrasi.
Kelima, mendesain ulang dana KPU untuk mengakomodasi pembangunan ekosistem pita lebar. Keenam, program pengembangan SDM dan industri teknologi informasi serta komunikasi nasional untuk mempercepat adopsi dan penggunaan pita lebar.
Untuk mempercepat pembangunan jaringan tulang punggung pita lebar, Kominfo akan membangun jaringan serat optik di 51 kabupaten kota yang tidak mencakup jaringan serat optik PT Telekomunikasi Indonesia Tbk. Pemerintah akan menyiapkan dana Rp 3,8 triliun yang diambil dari dana USO.
Budi mengatakan, dengan tersambungnya jaringan tulang punggung serat optik di seluruh kabupaten kota, pemerintah mengharapkan penyelenggara jaringan dan operator mau membangun jaringan akses alias last mile sampai ke rumah pengguna.
Berdasarkan RPI 2014-2019, penetrasi pita lebar akses tetap pada 2019 ditargetkan mencapai 30% dari total populasi. Untuk konsumen rumah tangga, penetrasi ditargetkan mencapai 71% dengan kecepatan 20 Mbps. Penetrasi fixed broadband di gedung ditargetkan mencapai 100% dengan kecepatan 1 Gbps. Sementara itu, penetrasi mobile broadband pada tahun 2019 mencapai 100% dengan kecepatan akses 1 Mbps.
Harga terjangkau
Ketersediaan jaringan serat optik hingga ke pengguna jelas akan membikin akses internet jauh lebih cepat. Meski begitu, pembangunan jaringan pita lebar tidak otomatis mendorong pertumbuhan ekonomi.
Mira mengatakan, jumlah pengguna internet dari tahun 2002 hingga 2012 meningkat lebih dari 1.000%. Namun, pada periode yang sama, indeks pembangunan manusia Indonesia hanya naik 10%. Artinya, penggunaan internet belum berkorelasi positif meningkatkan kualitas manusia. “Penggunaan internet belum untuk hal yang produktif,” katanya.
Karena itu, pemanfaatan internet juga perlu ditingkatkan. Itu sebabnya, dalam RPI 2014-2019, pemerintah merencanakan pembangunan enam sektor prioritas, yakni e-pemerintah, e-kesehatan, e-logistik, e-pendidikan, dan e-pengadaan.
Bagaimanapun, pemanfaatan jaringan pita lebar mau tidak mau harus menunggu pembangunan pita lebar selesai. Ketua Masyarakat Telematika Indonesia (Mastel ) Setyanto P. Santosa mengatakan adopsi dan utilisasi tidak akan bisa jalan sebelum jaringan serat optik sampai ke rumah konsumen. Apalagi, Presiden terpilih Joko Widodo mengusung berbagai program layanan pemerintah serba elektronik. “Program Jokowi serba elektronik itu tidak akan jalan tanpa infrastruktur memadai,” kata Setyanto.
Yang tak kalah penting, harga layanan jaringan pita lebar harus terjangkau. Mengacu katalog Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), harga koneksi broadband dengan kecepatan 512 Kbps sekitar Rp 600.000. Dengan pendapatan masyarakat rata-rata Rp 3 juta, harga layanan broadband mencapai 20% dari total penghasilan.
Nah, dalam RPI 2014-2019, harga layanan broadband pada 2019 ditargetkan kurang 5% dari rata-rata pendapatan masyarakat. Agar layanan broadband terjangkau, Setyanto mengatakan, pemerintah harus memberikan insentif kepada penyelenggara jaringan serat optik.
Selain itu, pemerintah harus mengalokasikan dana untuk pembangunan infrastruktur pita lebar. Apalagi, selama ini pemerintah punya dana dari sektor telekomunikasi yang justru sebagian besar tidak kembali untuk membangun infrastruktur telekomunikasi.
Semuel Abrijani Pangerapan, Ketua Umum Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJI), mengatakan, pemerintah harus mengatur pemisahan penyelenggara jaringan dan penyelenggara jasa internet serta membatasi jumlah penyelenggara jaringan. Dengan begitu, frekuensi yang dimiliki penyelenggara lebih besar sehingga layanan internet lebih baik. Dus, pemanfaatan spektrum bisa lebih efisien dan biaya investasi pun lebih murah.
Yang jelas, koneksi internet supercepat di Tanah Air bukan lagi sekadar impian.
***Sumber : KONTAN MINGGUAN 45 - XVIII, 2014 Laporan Utama
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News