Reporter: Selvi Mayasari | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pengamat telekomunikasi Heru Sutadi menilai prospek merger yang dilakukan PT Indosat Tbk (ISAT) dan Tri Indonesia cukup terbuka tetapi akan tergantung kepada kesepakatan Indosat Ooredoo dan Tri itu sendiri serta restu pemerintah.
"Menkominfo nampaknya sudah merestui. Namun nampaknya masih menunggu Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) sebagai aturan turunan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja," ungkap Heru kepada kontan.co.id, Selasa (19/1).
Ia mengatakan, kalau melihat perkembangan disebutkan bahwa RPP akan segera terbit, meski ada beberapa hal yang masih perlu penegasan soal teknologi baru yang memungkinkan penggunaan frekuensi bersama.
Heru menyebut, mekanisme merger biasanya akan melapor kepada Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) dan meminta persetujuan. Menurutnya, akan tergantung evaluasi dan kebijakan Menkominfo apakah frekuensi akan diambil atau tidak.
"Kalau melihat bahwa konsolidasi didorong juga Menkominfo, dan arahan UU Cipta Kerja, nampaknya perusahaan gabungan nantinya akan dapat menggunakan semua frekuensi yang sebelumnya dialokasikan pada Indosat dan Tri," jelas Heru.
Sebagai informasi, berdasarkan aturan sebelumnya, yakni Undang Undang Nomor 36 Tahun 1999 Telekomunikasi mengamanatkan, frekuensi adalah milik negara.
Baca Juga: Saham Indosat (ISAT) direkomendasikan hold, ini sebabnya
Dengan demikian, jika satu operator berhenti misalnya karena adanya akuisisi, maka frekuensi tersebut arus dikembalikan ke pemerintah. Itu sebabnya merger akuisisi belum terjadi karena si pembeli mencaplok perusahaan operator tanpa frekuensinya alias kosong.
Operator juga perlu mendapatkan kejelasan tentang alokasi spektrum frekuensi radio pasca merger dan akuisisi. Spektrum frekuensi radio adalah sumber daya terbatas milik negara sekaligus alat untuk operator berkompetisi. Namun, harus ada kejelasan aturan merger dan akusisi untuk perusahaan telekomunikasi.
Sehingga kolaborasi Kominfo dan Komisis Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) sangat perluk dalam mengatur hal ini agar kompetisi tetap sehat. Heru melanjutkan sebelum ada kebijakan UU Cipta Kerja, semua akan tergantung suka atau tidaknya (like or dislike) Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo).
Menurutnya, jika frekuensi dikembalikan ke negara, maka akan membuat industri tidak jelas, kapan dikembalikan dan kapan tidak. Ia mengatakn, dahulu pun tidak ada pengembalian. Contohnya adalah ketika Indosat (ISAT) membeli Satelindo. Pengambilan frekuensi baru terjadi pada 2013, atau tepatnya diambil 10 MHz baru terjadi saat XL Axiata membeli Axis Telecom.