Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Aktivitas pertambangan nikel di kawasan Raja Ampat, Papua Barat Daya, menuai sorotan belakangan ini.
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep) Bisman Bakhtiar mengatakan, kegiatan tambang tersebut diduga melanggar sejumlah ketentuan hukum, termasuk Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2023.
Pada UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil mengatur bahwa kawasan pesisir & pulau kecil harus diprioritaskan untuk konservasi, penelitian, pariwisata, perikanan, dan melarang penambangan di kawasan ini jika bisa menyebabkan kerusakan lingkungan atau sosial.
Menurut Bisman, kegiatan usaha pertambangan wajib mengacu pada prinsip berwawasan lingkungan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba). Artinya, setiap operasi tambang harus mempertimbangkan daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
"Operasi pertambangan di Raja Ampat patut disesalkan karena kerusakan yang ditimbulkan terjadi di wilayah yang dikenal sebagai salah satu surga alam dengan kekayaan hayati luar biasa," kata Bisman kepada Kontan, Minggu (8/6).
Baca Juga: Tambang Nikel di Raja Ampat Jadi Sorotan, Bahlil Kunjungi Pulau Gag, Raja Ampat
Bisman menekankan, pemerintah perlu melakukan evaluasi menyeluruh terhadap izin tambang nikel di wilayah tersebut. Evaluasi mencakup seluruh proses, mulai dari penerbitan izin, pengawasan pelaksanaan operasi, penerapan prinsip good mining practice, hingga komitmen perusahaan dalam menjalankan reklamasi dan pemulihan lingkungan.
Selain itu, kata Bisman, pemerintah tidak boleh ragu untuk menghentikan dan mencabut izin tambang jika ditemukan pelanggaran. Kegiatan ini patut diduga telah melanggar UU Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil serta UU Lingkungan Hidup. Apalagi Putusan MK 2023 telah mempertegas perlindungan hukum atas kawasan pesisir dan pulau kecil.
Bisman menambahkan, kerusakan lingkungan akibat tambang bukan hal baru di Indonesia. Ia mencontohkan kondisi di Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Tengah yang mengalami degradasi lingkungan akibat aktivitas tambang yang tidak terkendali.
"Risiko lingkungan yang ditimbulkan terlalu besar. Oleh karena itu, dibutuhkan langkah tegas dari pemerintah untuk menyelamatkan lingkungan, khususnya di wilayah-wilayah yang memiliki nilai ekologis tinggi seperti Raja Ampat," pungkasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Celios (Center of Economic and Law Studies) Bhima Yudhistira Adhinegara menilai perlu dilakukan evaluasi total dan moratorium izin tambang.
"Bukan hanya soal Cirebon dan Raja Ampat, bahkan Yogyakarta yang dikenal destinasi pariwisata saja sedang bermasalah soal tata kelola tambang," kata Bhima kepada Kontan, Minggu (8/6).
Menurut Bhima, selain masalah lingkungan dan hilangnya nilai karbon, pertambangan yang terlalu meluas dan ekspansif berisiko tinggi terhadap hilangnya pendapatan masyarakat lokal jangka panjang khususnya di sektor pertanian dan perikanan.
"Kalau pemerintah pusat serius bisa segera bentuk tim moratorium izin tambang baik nikel dan galian C, berkoordinasi dengan akademisi independen dan kepala daerah," jelasnya.
Bhima menambahkan, selama ini banyak pemerintah daerah merasa ekspansi tambang tidak banyak membantu pendapatan daerah sementara biaya kerusakan jalan dan biaya kesehatan yang sangat besar.
Baca Juga: 4 Tambang Nikel di Raja Ampat yang Lakukan Pelanggaran Lingkungan Serius Versi KLH
Selanjutnya: Rio Tinto Minta Pemerintah Australia Bailout Smelter Aluminium Tomago
Menarik Dibaca: Promo Es Krim Alfamart Periode 1-15 Juni 2025, Es Krim Oreo Beli 2 Gratis 1
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News