Reporter: Dani Prasetya | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Ada dugaan para eksportir bahan baku rotan menurunkan laporan harga ekspor rotan. Ketua Umum Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI), Hatta Sinatra, menilai, hal itu kemungkinan dilakukan untuk mengurangii pungutan ekspor.
"Padahal, harga yang ditawarkan untuk pembelian rotan di sentra perajin rotan di Cirebon jauh lebih mahal," katanya hari ini, (8/11). Sebagai gambaran, harga ekspor rotan jenis washed and sulphurized (W/S) sekitar US$ 0,88 per kilogram (kg), rotan poles sebesar US$ 1,16 per kg, rotan hati US$ 1,37 per kg.
Sementara, harga pembelian rotan di Cirebon jauh lebih mahal ketimbang harga ekspor. Rotan W/S sekitar Rp 12.000 per kg atau sekitar US$ 1,33 (kurs Rp 8.975), rotan poles Rp 10.000-Rp 13.000 per kg atau (US$ 1,11-US$ 1,44) dan rotan hati Rp 17.000-Rp 20.000 per kg atau (US$ 1,89-US$ 2,22).
Sekadar informasi, perhitungan pungutan ekspor didasarkan pada harga patokan ekspor (HPE) yang ditetapkan setiap bulan oleh Menteri Perdagangan berdasarkan harga rata-rata rotan internasional.
Untuk tarif pungutan ekspor didapat dari tarif pajak ekspor yang berlaku saat pemberitahuan ekspor barang (PEB) didaftarkan pada Kantor Pelayanan Bea dan Cukai dikali, jumlah satuan barang, dikali nilai kurs, dan dikali HPE. Rotan mendapat tarif pungutan ekspor 15%.
"Mungkin PEB (pemberitahuan ekspor barang) yang dilaporkan ke Bea Cukai itu merupakan nilai uang muka. Jadi lebih kecil tercatat harganya. Setelah di luar negeri harga yang ditawarkan lebih mahal," paparnya, usai pembukaan pameran furnitur, Selasa (8/11).
Namun, beberapa pelaku usaha asal Thailand dan Filipina justru menyebut harga rotan asal Indonesia tinggi. Salah satunya, pelaku usaha asal Thailand Dhanakorn Kasetrsuwan, pernah menyebut, harga rotan asal Indonesia sangat tinggi. Bahkan, anggota Asean Furniture Industry Council itu meminta para eksportir rotan menurunkan harga jual.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News