Reporter: Sofyan Nur Hidayat | Editor: Havid Vebri
JAKARTA. Asosiasi Masyarakat Tembakau Indonesia (AMTI) mengecam keputusan pemerintah yang mengenakan tarif cukai lebih mahal untuk rokok sigaret kretek tangan (SKT) ketimbang sigaret kretek mesin (SKM). Seharusnya, menurut AMTI, kenaikan cukai SKT lebih rendah dari SKM karena membutuhkan lebih banyak bahan baku dan tenaga kerja, sehingga biaya produksinya lebih mahal dari SKM.
Sekretaris Jenderal AMTI Derajat Kusumanegara mengatakan, pabrikan rokok SKT menyerap bahan baku dua kali lipat lebih banyak dari SKM. "Biaya bahan bakunya jauh lebih tinggi dari SKM," kata Derajat, Senin (4/7).
Selain biaya bahan baku mahal, SKT juga menyerap tenaga kerja jauh lebih banyak karena produksinya tidak tergantikan oleh mesin. Sayangnya, menurut Derajat, pemerintah justru mengenakan tarif cukai SKT lebih mahal dari SKM. Pada tahun 2011 ini, cukai untuk rokok SKT mengalami kenaikan 9%, sementara cukai SKM hanya naik 6%.
Pemerintah, menurut Derajat harus lebih memperhatikan industri rokok SKT yang jumlahnya mencapai 93% dari total industri rokok di Indonesia. Produksi kretek tangan juga mampu menyediakan lapangan kerja bagi ribuan buruh di berbagai daerah. "Jumlah tenaga kerja yang terserap industri rokok mencapai 6 juta orang," kata Derajat.
Ketua Harian Forum Masyarakat Industri Rokok Seluruh Indonesia (Formasi) Heri Susianto mengatakan, kenaikan cukai rokok memicu kolapsnya pabrikan rokok SKT skala kecil dan menengah. "Industri rokok kecil lama-lama bisa habis," kata Heri.
Formasi menyebut, jumlah pabrik rokok yang mencapai 3.000 unit pada tahun 2010, kini hanya tinggal 1.330 unit atau berkurang 55,6%. Penurunan jumlah pabrik rokok salah satunya terlihat di daerah Malang dan sekitarnya. Pada tahun 2008, jumlah pabrik rokok yang ada mencapai sekitar 500 pabrik. Namun, saat ini jumlahnya hanya sekitar 120 pabrik.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News