Reporter: Dina Mirayanti Hutauruk | Editor: Yudho Winarto
Dengan demikian, ancaman mogok itu merugikan sebagian besar pekerja Pertamina dan mengancam keberlangsungan usaha masyarakat yang selama ini mendapatkan efek berganda dari bisnis perusahaan tersebut.
"Kami menyayangkan rencana aksi mogok tersebut, karena tidak sesuai dengan tujuan berorganisasi dari serikat pekerja," kata Sekjen FSP BUMN Bersatu Tri Sasono.
Salah satu dasar dari munculnya ancaman ini adalah adanya rencana kebijakan agile working yang berdampak pada pengaturan mekanisme kerja fleksibel alias work from home (WFH).
Akan tetapi, manajemen Pertamina memastikan untuk tidak menerapkan mekanisme tersebut sehingga tidak ada pemangkasan gaji karyawan. Sejalan dengan hal itu, Tri menilai ancaman mogok kerja tak lagi relevan.
Baca Juga: Mediasi Berhasil, Serikat Pekerja Pertamina Batal Mogok Kerja
Sementara itu, jika masih terjadi adanya silang pendapat antara pekerja dengan pihak manajemen menurutnya harus diselesaikan secara bipartit sehingga bisa meminimalisasi gejolak.
Tri optimistis penyelesaian melalui dialog secara bipartit akan efektif untuk menemukan solusi terbaik. Terlebih, selama ini Pertamina dikenal sebagai salah satu perusahaan yang memprioritaskan kesejahteraan karyawan.
Desakan untuk mengganti Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati juga dinilai tak cukup beralasan. Pasalnya, di bawah kepemimpinannya, Pertamina justru berhasil mencatatkan kinerja yang ciamik.
Pada semester I/2021, Pertamina menyumbang penerimaan negara senilai Rp110,6 triliun, yang terdiri dari Rp70,7 triliun melalui setoran pajak, serta sisanya dari penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dan dividen yang naik hampir 10% secara YoY.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News