Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan tarif resiprokal dari Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump memacu sejumlah sub sektor manufaktur di Indonesia untuk mendiversifikasi pasar ekspor. Jika tak ada perubahan, mulai 1 Agustus 2025 Trump mengenakan tarif tambahan sebesar 32% untuk produk Indonesia.
Kondisi ini memicu kekhawatiran sejumlah industri yang penjualannya didominasi oleh ekspor ke pasar AS. Contohnya adalah industri mebel dan kerajinan. Ketua Umum Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI) Abdul Sobur mengungkapkan AS menyerap sekitar 54% ekspor mebel dan kerajinan Indonesia.
Abdul mengamini, ketergantungan pada satu pasar sangat riskan bagi keberlanjutan industri. HIMKI pun merancang strategi jangka pendek dan menengah dalam mendiversifikasi ekspor agar mempercepat substitusi pasar.
"HIMKI mencatat produk mebel dan kerajinan Indonesia telah menjangkau lebih dari 121 negara tujuan ekspor. Meski ekspor masih didominasi AS, potensi pertumbuhan di negara lain sangat terbuka lebar, terutama untuk produk dengan nilai tambah tinggi dan positioning premium.," ungkap Abdul kepada Kontan.co.id, Minggu (13/7).
Baca Juga: Integra (WOOD) Tunggu Kejelasan Tarif Trump, Sambil Terus Memacu Diversifikasi Ekspor
HIMKI melirik peluang ekspansi ke kawasan Eropa, Timur Tengah, Asia Selatan, Afrika, hingga Oceania melalui penetrasi produk premium dan niche market. Berkaca dari situasi ini, Abdul menilai diversifikasi bukan sekadar strategi defensif, tetapi juga langkah progresif untuk menciptakan struktur ekspor yang lebih sehat dan tahan terhadap guncangan kebijakan dagang dari suatu negara.
"Strategi diversifikasi bukan hanya soal memperbanyak negara tujuan, tetapi juga peningkatan kualitas produk, cerita merek (brand story), efisiensi produksi, dan kecepatan respons terhadap tren pasar global," ungkap Abdul.
Sub sektor manufaktur lain yang mengandalkan pasar AS adalah industri alas kaki. Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo) Yoseph Billie Dosiwoda mengungkapkan AS menjadi pasar utama produk alas kaki Indonesia dengan nilai ekspor sekitar US$ 2,39 miliar pada tahun 2024.
Sedangkan dalam ikhtiar mendiversifikasi pasar, Billie menyoroti pentingnya percepatan perjanjian kemitraan ekonomi komprehensif antara Indonesia dan Uni Eropa alias IEU-CEPA. Menurut Billie, Free Trade Agreement (FTA) penting untuk membuka akses pasar, sekaligus menjaga daya saing dengan negara-negara pesaing seperti Vietnam yang sudah punya perjanjian serupa.
Penguatan Pasar Dalam Negeri
Tak cukup pada diversifikasi pasar ekspor, pada saat yang sama, pelaku usaha menilai perlu upaya untuk memperkuat industri dan pasar dalam negeri. Apalagi, sejumlah industri yang berorientasi ekspor tergolong padat karya yang menyerap banyak tenaga kerja.
Billie mendorong adanya program insentif dari pemerintah serta reformasi struktural melalui pendekatan deregulasi. "Aprisindo mendorong pemerintah untuk terus memperbaiki iklim investasi yang kondusif dan kemudahan berusaha di dalam negeri, supaya bisa tetap kompetitif dengan ketidakpastian eksternal seperti ini," ungkap Billie.
HIMKI juga mendorong penguatan ketahanan pasar dalam negeri. Abdul mencontohkan China yang berani melakukan retaliasi terhadap tarif Trump, salah satunya karena China memiliki pasar domestik yang kuat.
"Indonesia harus bergerak ke arah serupa. Kita perlu memperkuat pasar domestik agar mampu menyerap 70%–80% kapasitas produksi nasional," ungkap Abdul.
Diversifikasi ekspor dan penguatan pasar dalam negeri juga menjadi perhatian industri baja. Ketua Umum Indonesian Iron and Steel Industry Association (IISIA) M. Akbar Djohan mengungkapkan porsi ekspor produk baja ke pasar AS relatif mini, hanya sekitar 76.000 ton atau 0,7% dari total ekspor per kuartal I-2025.
Meski begitu, IISIA mewaspadai efek tidak langsung dari pengenaan tarif impor yang tinggi oleh AS. Sebab, sejumlah negara eksportir baja nantinya sulit bersaing untuk masuk ke pasar AS, sehingga berpotensi mencari pasar alternatif, salah satunya Indonesia.
IISIA pun mengusung dua strategi. Pertama, mendorong pelaku industri untuk memperkuat penjualan di dalam negeri, sekaligus mendorong industri hilir agar lebih banyak menggunakan produk baja nasional sebagai bahan baku dengan target substitusi impor minimal 20%–50% dari total impor.
Kedua, diversifikasi pasar ekspor guna mengurangi ketergantungan pada pasar tradisional seperti AS, serta membuka peluang ke negara-negara non-tradisional yang memiliki potensi pertumbuhan permintaan. "IISIA mencatat perlu adanya dukungan dari pemerintah dalam bentuk fasilitasi akses pasar," ujar Akbar yang juga merupakan Ketua Umum Asosiasi Logistik & Forwarder Indonesia (ALFI).
Gabungan Pengusaha Elektronik (Gabel) punya sorotan serupa. Sekretaris Jenderal Gabel, Daniel Suhardiman menyampaikan porsi ekspor produk industri elektronik ke AS relatif kecil. Beberapa produk yang ekspor antara lain Air Conditioner (AC), printer, speaker dan small appliances.
Daniel turut mengingatkan pentingnya proteksi terhadap pasar dalam negeri dari limpahan produk yang nantinya sulit masuk atau bersaing di pasar AS. "Ancaman besarnya justru inflow barang-barang dari negara produsen seperti Tiongkok, Vietnam, Thailand masuk ke Indonesia," kata Daniel.
Baca Juga: Kadin DKI Jakarta Sebut Tarif Trump Ancam Penurunan Ekspor hingga 25%
Selanjutnya: Sukses Replanting, Panen Sawit Perdana PalmCo Capai 7 Ton Per Hektare
Menarik Dibaca: Apakah Jurusan Bahasa Terancam Tergusur AI atau Tidak? Ini Sederat Faktanya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News