kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.520.000   12.000   0,80%
  • USD/IDR 15.880   50,00   0,31%
  • IDX 7.196   54,65   0,77%
  • KOMPAS100 1.104   9,46   0,86%
  • LQ45 877   10,80   1,25%
  • ISSI 221   0,74   0,34%
  • IDX30 449   6,10   1,38%
  • IDXHIDIV20 540   5,33   1,00%
  • IDX80 127   1,26   1,00%
  • IDXV30 135   0,57   0,43%
  • IDXQ30 149   1,56   1,06%

Apolin sebut dukungan pemerintah turut memperkuat daya saing industri oleokimia


Kamis, 09 September 2021 / 21:13 WIB
Apolin sebut dukungan pemerintah turut memperkuat daya saing industri oleokimia
ILUSTRASI. Apolin sebut dukungan pemerintah turut memperkuat daya saing industri oleokimia


Reporter: Noverius Laoli | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Kebijakan hilir kelapa sawit telah berjalan sukses berkat dukungan penuh dari pemerintah. Di industri oleokimia, tren ekspor terus meningkat sepanjang tiga tahun terakhir untuk memenuhi kebutuhan pasar global.

"Industri oleokimia telah berkembang pesat. Pada 1995, baru ada enam perusahaan yang menjadi anggota Apolin. Namun hingga 2021 ini sudah 11 perusahaan, dengan kapasitas nasional 11,3 juta ton per tahun,” ujar Ketua Umum Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin) Rapolo Hutabarat saat membuka webinar bertemakan “Momentum Industri Oleokimia Indonesia di Pasar Global: Peluang dan Tantangan”, Kamis (9/2021).

Kegiatan ini diselenggarakan oleh Asosiasi Produsen Oleochemical Indonesia (Apolin)  dan Majalah Sawit Indonesia yang didukung oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).

Webinar dibuka oleh Putu Juli Ardika, Plt. Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian RI yang menghadirkan tiga pembicara yaitu Asep Asmara (Direktur Ekspor Produk Pertanian Kemendag RI), Emil Satria (Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin RI), dan Fadjar Donny Tjahjadi (Direktur Teknis Kepabeanan Bea Cukai).

Baca Juga: Indonesia oleochem exports up on pandemic demand for hygiene goods

Rapolo menjelaskan, apabila kapasitas produksi oleokimia tadi digabungkan berdasarkan kelompok produk Fatty Acid Metyl Ester (FAME) maka total kapasitas menjadi 12 juta ton per tahun. Ini berarti, Indonesia telah menjadi produsen terbesar dunia untuk industri oleokimia berbasis sawit.

Berbagai dukungan nyata dari pemerintah untuk industri hilir sawit di Indonesia, diantaranya adalah PMK No. 166/2020 tentang Bea Keluar; PMK No. 76/2021 tentang Levy dan Perpres 121/2020 tentang Harga Gas Bumi (sebesar USD 6 per MMBTU). Berbagai regulasi tersebut di atas merupakan landasan yang sangat kokoh untuk melakukan hilirisasi produk minyak sawit di tanah air.

Dukungan nyata tersebut telah dirasakan oleh industri oleochemical Indonesia, dimana kinerja ekspor kita terus meningkat, yaitu tahun 2018 sebesar 2,75 juta ton dengan nilai ekspor US$ 2,38 miliar, tahun 2019 sebesar 3,27 juta ton dengan nilai ekspor US$ 2,10 miliar.

“Tahun 2020 dengan volume ekspor 3,87 juta ton dengan nilai US$ 2,63 miliar. Pada 2021 ini kami estimasikan volume ekspor oleokimia di atas 4 juta ton dengan nilai ekspor US$ 3,8 miliar,” kata dia.

Rapolo menjelaskan, pencapaian ini tentu harus senantiasa dikembangkan karena produk-produk oleokimia sangat dibutuhkan oleh berbagai industri seperti industri kosmetik, kesehatan, makanan, farmasi,  dan pestisida.

Baca Juga: Geber Hilirisasi CPO, Pupuk Kaltim Kaji Pembangunan Pabrik Oleokimia

Putu Juli Ardika, Plt.Dirjen Industri Agro Kementerian Perindustrian RI mengatakan kebijakan hilirisasi kelapa sawit mampu memberikan nilai tambah bagi perekonomian. Sektor hilir telah  mampu menyerap 80 persen lebih bahan baku kelapa sawit menjadi produk turunan. Hingga kini terdapat 160 jenis produk di industri hilir dalam bentuk produki di sektor pangan, bahan kimia, oleokimia, hingga bahan bakar baru terbarukan.

Kementerian Perindustrian, berupaya menjaga keberlangsungan produk oleokimia dan pertumbuhan industrinya agar tumbuh berkualitas. Adapun berbagai macam fasilitas dan dukungan pemerintah diberikan agar industri  oleokimia tetap  produktif di tengah pandemi.

Pertama, Kementerian Perindustrian mengeluarkan Izin Operasional dan Mobilitas Kegiatan Industri (IOMKI) untuk mendukung kegiatan industri oleokimia yang merupakan industri kritikal. Di tengah pandemi, industri oleokimia tetap beroperasi 100 persen dengan protokol kesehatan ketat.

Baca Juga: GIMNI minta kepastian revisi pungutan ekspor sawit

Kedua, kebijakan harga gas murah yang dipatok US$ 6 - US$ 7 per MBBTU melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2016 telah diberikan kepada sekitar 20 pabrik oleokimia dari 11 perusahaan.

Menurut Putu Juli, aturan ini dapat mendorong efisiensi biaya produksi sekitar 3% dan signifikan meningkatkan daya saing industri oleokimia. 

Selain, fasilitas pengurangan PPh badan bagi wajib pajak yang terdampak pandemi Covid-19 melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 9 Tahun 2021 serta advokasi tarif pungutan ekspor kelapa sawit dan turunannya yang lebih pro industri pengolahan sesuai Peraturan Menteri Keuangan Nomor 76 Tahun 2021.

“Atas dukungan Kementerian Keuangan dan berbagai pihak, sehingga pungutan bisa pro terhadap industri dalam negeri terutama dalam penyediaan bahan baku industri oleokimia. Alhasil industri ini berkembang dan bertahan untuk mendukung pemulihan ekonomi nasional,” kata Putu.

Untuk memperkuat industri oleokimia, dia menyarankan memperluas kapasitas produksi dan efisiensi biaya produksi agar daya saing produk oleokimia meningkat.

“Kemudian efisiensi bahan baku minyak sawit melalui penggunaan industrial vegetable oil atau lauric oil supaya mendapatkan bahan baku yang lebih kompetitif. Sementara CPO kita gunakan untuk high food grade, mendapatkan nilai tambah dan harga kompetitif,” ungkap dia.

“Di samping itu, pemerintah memberikan Super Deduction Tax mencapai 300% untuk penelitian yang bisa dikomersialkan guna meningkatkan nilai produk oleokimia,” ujar Putu Juli.

Direktur Industri Hasil Hutan dan Perkebunan Kemenperin Emil Satria menambahkan, industrialisasi hilir oleokimia perlu ditata kembali untuk meningkatkan daya saing industri oleokimia pada lingkup global. 

Untuk itu, kata dia,  diperlukan efisiensi biaya akses bahan baku, salah satunya dengan penggunaan minyak sawit industrial yang lebih murah dengan tetap menjaga harga beli CPO dan tandan buah segar (TBS) pada tingkat yang remunerative bagi petani.

Baca Juga: Forwatan gandeng tiga asosiasi sawit salurkan bantuan ke 4 yayasan

Direktur Ekspor Produk Pertanian dan Kehutanan Kementerian Perdagangan Asep Asmara mengungkapkan nilai ekspor oleokimia mengalami tren perkembangan yang positif sebesar 9,57% selama 5 tahun terakhir. Ini sejalan dengan volume ekspor juga mengalami tren positif sebesar 17,22%.

Pada periode Januari sampai Juli 2021, nilai ekspor oleokimia tercatat sebesar US$ 3,68 miliar, meningkat signifikan sebesar 68,39% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Sedangkan untuk volume ekspornya tercatat sebesar 3,82 juta ton, meningkat 16,88% dari periode yang sama di tahun 2020.

“Perkembangan ekspor oleokimia di 2021 menunjukkan hasil positif dan terus meningkat,” ujar dia.

Ekspor oleokimia Indonesia didominasi produk dalam bentuk fatty acid sebesar 2,22 juta ton atau 58%) dan gliserol sebesar 0,80 juta ton (21%). Negara tujuan ekspor utama untuk oleokimia Indonesia adalah China dengan total nilai  USD0,95 miliar.  Produk utama yang diekspor adalah stearic acid, fatty alcohol, dan glycerol.

“Pemerintah ingin sawit diekspor dalam bentuk produk turunan atau olahan sehingga mendorong kegiatan hilirisasi kelapa sawit,” ujar dia.

Plt. Direktur Kemitraan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Edi Wibowo menambahkan, pihaknya memiliki program penelitian dan pengembangan pada oleokimia yang siap diimplementasikan seperti pengembangan surfaktan anionik dari minyak sawit untuk peningkatan produk minyak bumi di lapangan tua menggunakan teknik stimulasi matrix.

Direktur Teknis Kepabeaan Bea Cukai Kementerian Keuangan Fadjar Donny Tjahjadi mengatakan, dalam pelayanan ekpor produk kelapa sawit dan turunanya mengacu para Peraturan Menteri Keuangan Nomor 22 Tahun 2019 untuk akurasi data, percepatan pelayan dan pengawasan kepabeanan ekspor. 

Selain itu, Produk turunan Oleokimia yang sebagian besar merupakan produk hilir seperti Fatty Alcohol, Fatty Amine, Gliserol, dll tidak dikenakan Bea Keluar kecuali FAME/Biodiesel dengan kode HS 38260021, 38260022 dan 38260090.

Baca Juga: Apolin berharap pemerintah konsisten jalankan regulasi hilir sawit

Saat ini, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) telah memberikan fasilitas kemudahan berupa sertifikasi Authorized Economic Operator (AEO). Sertifikat AEO perlu dimiliki setiap perusahaan logistik yang ingin berstandar internasional. Fasilitas ini memberikan kemudahan terintegrasi yang ditawarkan sistem AEO, selain memudahkan pelayanan transaksi ekspor dan impor, juga telah beradaptasi dengan teknologi yang terus berkembang, hingga jaminan supply chain ke konsumen.

Fadjar Donny juga menjelaskan keuntungan yang didapatkan perusahaan anggota AEO. Selain intangible benefit, perusahaan AEO akan diakui di seluruh dunia sebagai perusahaan yang safe dan secure, serta sebagai mitra bisnis yang patuh dan taat dalam perdagangan internasional. 

Perusahaan AEO juga akan mendapatkan tangible benefits  antara lain penelitian dokumen dan/atau pemeriksaan fisik yang minimal, penyederhanaan prosedur kepabeanan, pelayanan khusus apabila ada gangguan terhadap pergerakan pasokan logistik, pemberitahuan pendahuluan (prenotification), jaminan perusahaan, kemudahan pembayaran atas penyelesaian kewajiban kepabeanan dalam bentuk berkala.

Selanjutnya: Industri penerima manfaat diminta optimalkan insentif harga gas, begini kata asosiasi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News



TERBARU
Kontan Academy
Working with GenAI : Promising Use Cases HOW TO CHOOSE THE RIGHT INVESTMENT BANKER : A Sell-Side Perspective

[X]
×