Reporter: Muhammad Julian | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pemerintah terus berupaya membenahi ketentuan regulasi impor limbah non-bahan berbahaya dan beracun (B3) sebagai bahan baku industri.
Belum lama ini, pemerintah mengeluarkan beleid baru Permendag Nomor 92 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Permendag Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri.
Hal ini bertujuan untuk memperbaiki kekurangan-kekurangan yang ada di dalam beleid sebelumnya, yaitu Permendag Nomor 84 Tahun 2019 tentang Ketentuan Impor Limbah Non-Bahan Berbahaya dan Beracun sebagai Bahan Baku Industri.
Baca Juga: Industri baja sarankan pemerintah ikuti standar ISRI soal kriteria limbah non-B3
Langkah ini mendapat apresiasi dari sebagian kalangan pelaku industri. Sekretaris Jenderal Asosiasi Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, regulasi impor limbah non B3 sudah sesuai dengan kebutuhan pelaku industri tekstil di sektor hulu.
“Kalau dilihat dari regulasinya sepertinya sudah oke, tinggal kita lihat implementasinya,” kata Redma kepada Kontan.co.id, Jumat (10/1).
Lebih lanjut, Redma mengatakan bahwa secara umum, limbah non B3 seperti misalnya skrap plastik bisa digunakan sebagai bahan baku daur ulang untuk pembuatan benang filamen.
Dengan demikian, pengaturan regulasi impor bahan B3 menjadi penting guna memasok kebutuhan limbah plastik dalam negeri untuk digunakan sebagai bahan baku.
Terlebih, upaya pengumpulan plastik di dalam negeri masih bermasalah sehingga produksi skrap plastik dalam negeri masih belum bisa memenuhi kebutuhan skrap plastik nasional sepenuhnya.
Baca Juga: Asosiasi plastik (INAPLAS) dukung Permendag tentang impor limbah non-B3
Namun demikian, Redma menilai regulasi impor limbah non B3 yang ada tidak akan berdampak banyak terhadap kegiatan industri anggota APSyFI.
Maklum saja, menurut catatan Redma, dari sebanyak 29 anggota asosiasi, Redma mencatat paling tidak hanya terdapat satu anggota yang bergantung pada pasokan skrap plastik impor.
Sejalan dengan keterangan tersebut, sebagian pelaku industri tekstil di sektor hulu memang diketahui tidak menggunakan skrap plastik sebagai bahan baku.
PT Asia Pacific Fibers Tbk misalnya, emiten yang memiliki kode saham POLY dikatakan tidak menggunakan limbah non B3 seperti misalnya skrap plastik sebagai bahan baku.
“POLY tidak menggunakan limbah, justri limbah sisa produksi kami yang sering dimanfaatkan oleh industri lain,” Assistant President Director Corporate Communications PT Asia Pacific Fibers Tbk Prama Yudha Amdan kepada Kontan.co.id, Minggu (12/1).
Baca Juga: Beleid larangan plastik sekali pakai, bisa jadi kendala produsen plastik
Untuk menunjang kegiatan produksinya, POLY mengandalkan bahan baku berupa Purified Terepthalic Acid (PTA) dam Mono Ethelyn Glicol (MEG) sebagai bahan baku utama. Kedua bahan baku ini diperoleh dari pembelian dalam negeri sebagai pemasok utama dan juga impor.
Secara terperinci, kebutuhan pasokan perseroan atas kedua bahan baku ini berkisar 260.000-280.000 ton per tahun untuk PTA dan 100.000-110.000 ton per tahun untuk MEG.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News