kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45916,64   -18,87   -2.02%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

APTRI: Jumlah peredaran gula rafinasi di pasar saat ini sudah cukup mengkhawatirkan


Selasa, 01 Desember 2020 / 18:48 WIB
APTRI: Jumlah peredaran gula rafinasi di pasar saat ini sudah cukup mengkhawatirkan
ILUSTRASI. Gula rafinasi. REUTERS/Khalid al-Mousily


Reporter: Muhammad Julian | Editor: Handoyo .

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI) menyoroti pemberian wewenang kepada industri pengguna untuk melakukan importasi wewenang impor gula rafinasi secara langsung. 

Ketua APTRI, Soemitro Samadikoen menilai, kebijakan yang demikian berpotensi memperbanyak kebocoran atawa rembesan gula rafinasi impor yang diperuntukan untuk kebutuhan industri di pasar gula  konsumsi alias, sebab dengan banyaknya jumlah pemain industri pengguna, pengawasan akan lebih sulit untuk dilakukan.

“Sekarang ketika impor gula industri dilakukan melalui 11 importir aja bocornya ada di mana-mana, gimana nanti kalau nanti diimpor langsung oleh pabrik mamin yang jumlahnya banyak sekali,” ujar Soemitro saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (1/12).

Menurut Soemitro, sebelumnya jumlah peredaran gula rafinasi di pasar saat ini sudah cukup mengkhawatirkan. Ia mengaku tidak memiliki data persis angka gula rafinasi yang ‘bocor’ di pasar konsumsi setiap tahunnya, namun berdasarkan informasi yang ia dapat, jumlahnya bisa mencapai 300.000 ton - 500.000 ton per tahunnya.

Sebagai pembanding, angka kebutuhan gula konsumsi setiap tahunnya berkisar 2,8 juta per tahun. Artinya, berdasarkan hitungan Kontan.co.id, jumlah kebocoran gula rafinasi di pasar gula konsumsi bisa mencapai 10,71%-17,85% dari total kebutuhan gula konsumsi nasional per tahunnya.

Baca Juga: Petani tebu khawatirkan potensi banjir impor gula, ini sebabnya

Hal ini dinilai merugikan petani tebu selaku penghasil gula kristal di tingkat hulu, sebab gula  rafinasi impor umumnya memiliki harga yang murah dibanding gula konsumsi lokal di pasaran. Menurut hitungan Soemitro, selisih harganya bisa mencapai Rp 1.000 atau lebih per kilogramnya.

Selisih harga yang demikian dipicu oleh beberapa hal. Selain beragam biaya yang lebih murah, produksi gula di negara-negara pemasok gula  rafinasi impor juga juga lebih efisien. Hal ini membuat biaya produksi gula di negara-negara pemasok menjadi lebih rendah.

“Sawah di  sini 1 hektar cuma menghasilkan gula itu rata-rata 5 ton, sedangkan sawah di sana 1 hektar bisa menghasilkan gula itu kurang lebih 10-11 ton per hektar karena mereka pakai mekanisasi (mesin), ini kita belum bicara biaya-biaya yang lain,” kata Soemitro.

Menindaklanjuti hal ini, Soemitro mengatakan akan melakukan pendekatan kepada pemerintah. Sejauh ini, ia mengaku telah mengirim surat permohonan kepada beberapa kementerian/lembaga untuk melakukan audiensi. 

Selanjutnya: Kemendag dorong efisiensi petani tebu untuk tekan biaya produksi

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×