kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45926,73   11,38   1.24%
  • EMAS1.310.000 -1,13%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Asing dekap ritel kita


Rabu, 06 Maret 2013 / 13:04 WIB
Asing dekap ritel kita
ILUSTRASI. Lelang Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) atau Sukuk Negara. KONTAN/Baihaki


Reporter: Arief Ardiansyah, Anastasia Lilin Y, Sofyan Nur Hidayat, Adisti Dini Indreswari | Editor: Imanuel Alexander

JAKARTA. Tahun ini dua berita peralihan kepemilikan dari bisnis ritel milik Grup Lippo menghiasi media massa. Hasrat Temasek Holdings dari Singapura berbiak duit di bisnis ritel Indonesia mendapat titik terang. Akhir Januari 2013, melalui anak-anak usahanya, pertalian bisnis antara Lippo dan Temasek ditandatangani.

Mereka meneken exchangeable rights subscription agreement (ERSA) senilai US$ 300 juta, atau sekitar Rp 2,88 triliun. Kelak, Temasek bisa mengonversi exchangeable rights ini menjadi kepemilikan 26,1% saham PT Matahari Putra Prima Tbk (MPPA), pemilik gerai Hypermart.

Pada 18 Februari lalu, pemilik MPPA, PT Multipolar Tbk, menyatakan telah menyelesaikan dan mengeksekusi transaksi ERSA ini. Apakah artinya Temasek sudah sah menjadi pemilik MPPA? Sekretaris Perusahaan Multipolar Chrysologus R.N. Sinulingga mengatakan, berlangsungnya transaksi pembelian saham MPPA ini masih dalam jangka waktu yang ditentukan seperti dalam ERSA. “Kami percaya investasi ini akan mendukung pertumbuhan bisnis dan ekspansi berkelanjutan MPPA,” kata Chrysologus.

Satu transaksi lagi terkait kewajiban melepas dan mempertahankan kepemilikan publik (refloat) CVC Capital Partners Ltd atas kepemilikannya di PT Matahari Department Store Tbk (LPPF). Kabarnya, CVC menawarkan  40% saham LPPF senilai US$ 1,5 miliar. Dengan kata lain, mereka menilai LPPF sebesar US$ 3,5 miliar.

Adalah jaringan ritel dari Jepang Aeon Co Ltd yang sempat mengajukan tawaran senilai US$ 2,6 miliar. Namun, awal Februari lalu, Eksekutif Bidang Business Development Aeon, Masaaki Toyoshima, melalui surat elektronik kepada Bloomberg, mengatakan bahwa dalam pertemuan 4 Februari 2013, Aeon mengindikasikan tidak bisa memenuhi harga jual yang diajukan CVC. “Harga CVC itu setara 15 kali perkiraan laba usaha sebelum bunga, depresiasi, dan penyusutan LPPF tahun 2013,” kata Masaaki.

Walau Aeon batal, CVC masih punya calon investor strategis lain yang memburu saham LPPF. Mereka adalah Temasek Holdings dan American International Group Inc (AIG). Yang jelas, bila valuasi CVC atas LPPF diamini investor, CVC bakal untung besar. Saat masuk ke LPPF tahun 2010, mereka cuma mengeluarkan duit US$ 790 juta saja.

Bayangan keuntungan investasi yang luar biasa besar dengan masuk ke bisnis ritel Indonesia sungguh menyilaukan investor dan pelaku ritel dari luar negeri. Selain jalur akuisisi, tak sedikit peritel asing yang mengadu peruntungan terjun langsung ke Indonesia.

Bersaing ketat

Jejak investor asing ke bisnis ritel dalam negeri sudah terlihat sejak 10 tahun lalu. Saat itu, Dairy Farm International Giant Retail Sdn Bhd dari Malaysia menggandeng PT Hero Supermarket Tbk mendirikan hipermarket Giant. Pasca akuisisi tersebut, minat investor asing terhadap pasar ritel lokal pun seperti tak terbendung.

Tengok saja deretan peritel asing yang sudah beroperasi di Indonesia. Daftar nama ini akan bertambah dengan kehadiran peritel-peritel asing baru pada tahun ini dan tahun depan. Salah satu yang menarik adalah kehadiran Aeon. Sebelum menarik diri dari LPPF, mereka memastikan diri hadir mengembangkan jaringan ritelnya di Indonesia.

Melalui PT Aeon Mall Indonesia dan PT Aeon Indonesia, mereka meramaikan pasar department store, supermarket dan minimarket. Wakil Presiden Direktur PT Sumber Alfaria Trijaya Tbk, Pudjianto, menyebut tiga alasan investor asing kepincut pasar ritel dalam negeri. Pertama, kondisi ekonomi Indonesia yang mantap. Perekonomian Indonesia tetap tumbuh di tengah perlambatan ekonomi secara global. Belum lagi, pendapatan per kapita yang kian besar, di kisaran US$ 3.500.

Kedua, jumlah penduduk yang besar, lebih dari 240 juta jiwa, juga menjadi katalis positif. Artinya, ada potensi daya konsumsi yang besar pula. Ketiga, pertumbuhan kelas menengah yang didukung perkembangan karakter masyarakat dalam berbelanja. “Sedang investor asing sudah kehabisan lahan ekspansi di negaranya dan memilih ke sini,” ujar dia.

Pudjianto mengaku, banyak investor asing melirik Alfamart. Namun, jaringan minimarket yang mengoleksi 7.200 gerai ini belum berminat untuk menyambut gayung yang disodorkan. Senada dengan Pudjianto, Direktur Ritel SBMart Gustaf Ismail mengatakan, jumlah penduduk Indonesia yang besar menjadi pemicu investor lokal meminati pasar ritel dalam negeri.

Bisnis ritel tetap hidup dalam kondisi ekonomi krisis sekalipun, karena orang tetap butuh konsumsi. SB Mart tak gentar bersaing dengan peritel asing. “Kami mengusung sistem dan nilai lokal yang lebih Islami,” kata Gustaf.

Direktur PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk Setyadi Surya juga tak takut bersaing dengan peritel asing. Sebagai peritel yang menyasar pasar menengah bawah, mereka sudah mengenal konsumen dengan sangat baik.

Tak cuma itu, Ramayana juga telah menjalin hubungan baik dengan pemasok yang telah bekerjasa sama selama 30 tahun. “Kami membina mereka sejak masih UKM,” kata Setyadi. Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia Tutum Rahanta menilai persaingan bisnis ritel kian ketat, namun peritel asing tetap bisa meraup cuan di Indonesia. “Masyarakat cenderung mudah menerima merek asing,” kata Tutum.

***Sumber : KONTAN MINGGUAN 23 - XVII, 2013 Laporan Utama

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×