Reporter: Fitri Nur Arifenie |
JAKARTA. Asosiasi Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Asmindo) mengusulkan kepada pemerintah untuk membentuk badan penyangga rotan. Badan ini menyediakan stok cadangan alias buffer stock rotan apabila ekspor rotan ditutup.
"Kuartal I 2011, industri rotan kita turun 22% karena minimnya ekspor. Kalau ekspor rotan ditutup industri rotan akan jatuh lagi," keluh Ketua Umum Asmindo, Ambar Tjahyono kepada KONTAN, Minggu (7/8). Solusinya adalah membentuk badan penyangga yang wajib menampung seluruh produksi daerah penghasil dengan tingkat harga yang wajar. Ia menghitung biaya untuk membentuk badan penyangga ini sekitar Rp 600 miliar.
Rekomendasi badan penyangga rotan bisa masuk dalam revisi tata niaga rotan dalam Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 36 Tahun 2009. Peraturan tersebut akan habis masa berlakunya pada 11 Agustus 2011.
Hal lainnya yang perlu direvisi, tambah Ambar, adalah menggolongkan produk WS (washed and sulfured ) ke dalam kategori rotan setengah jadi dan dapat diekspor. Bila diperlukan, pemerintah dapat menentukan jenis-jenisnya.
Selain itu, Asmindo ingin pemerintah menetapkan dengan tegas kriteria daerah penghasil rotan. Asmindo juga ingin dilibatkan dalam pelaksanaan ekspor (verifikasi) rotan. Terakhir, Asmindo menghimbau agar selama masa transisi dengan aturan baru, persyaratan wajib pasok tak berlaku.
Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementrian Perdagangan, Deddy Saleh mengatakan revisi soal tata niaga ekspor masih dalam tahap diskusi. Ada beberapa usulan terkait dengan tata niaga rotan ini. Pertama, usulan agar aturan tetap berlaku, yakni ekspor tetap berjalan, tetapi kewajiban untuk pemasoknya sebesar 30% juga tetap ada.
Kedua, usulan soal badan penyangga rotan. Deddy berkata pemerintah harus memutuskan secara hati-hati. Misalnya, soal siapa yang akan ditugaskan untuk menjadi badan penyangga, apakah bumn atau pemerintah. Kemudian, biaya menjalankan badan penyangga rotan. Maka, sebelum memutuskan, pemerintah dan asosiasi harus membahas terlebih dahulu bagaimana konsep badan penyangga itu.
Usul ketiga yang sedang dalam tahap pembicaraan adalah pusat distribusi. Rencananya, akan ada suatu wilayah yang menjadi pusat distribusi. Semua produsen rotan akan menjual rotannya ke pusat distribusi tersebut. "Baru dari pusat distribusi itu nanti akan diekspor ke mana pun tujuannya," jelas Deddy.
Dengan metode ini, industri dalam negeri berkesempatan menyerap produksi rotan lokal. Namun, pemerintah juga bakal menetapkan batas waktu aturan itu berjalan. "Jadi kalau misalnya sampai batas waktu sekian tidak dapat diserap oleh industri dalam negeri, ya sudah nanti diekspor," jelas Deddy.
Sementara itu, Wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Rotan Indonesia (APRI) Julius Hoesan mengatakan, tata niaga rotan yang ada saat ini tidak dapat mengembangkan penggunaan rotan di dalam negeri. Menurutnya, dari 350-an jenis rotan yang ada di dalam negeri, hanya 6-7 jenis yang diserap oleh industri mebel rotan dalam negeri. "Selama ini, yang diekspor terbanyak adalah jenis dan ukuran yang tidak terserap oleh industri mebel dalam negeri," katanya.
APRI meminta kepada pemerintah supaya membebaskan semua jenis rotan olahan dari ketentuan tata niaga. Saat ini potensi produksi rotan sebesar 247.000 ton per tahun. Sementara, pemakaian industri mebel dalam negeri belum mencapai 20.000 ton per tahun. "Sisanya ini kalau tidak diekspor mau dikemanakan?" kata dia.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News