kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 2.415.000   -13.000   -0,54%
  • USD/IDR 16.600   -6,00   -0,04%
  • IDX 8.089   173,32   2,19%
  • KOMPAS100 1.119   28,59   2,62%
  • LQ45 796   23,97   3,10%
  • ISSI 285   3,86   1,37%
  • IDX30 415   14,34   3,58%
  • IDXHIDIV20 470   17,22   3,80%
  • IDX80 124   2,97   2,46%
  • IDXV30 133   4,48   3,48%
  • IDXQ30 131   4,31   3,39%

Aspermigas Soroti Polemik Kebijakan Migas di Tahun Pertama Pemerintah Prabowo–Gibran


Senin, 20 Oktober 2025 / 15:37 WIB
Aspermigas Soroti Polemik Kebijakan Migas di Tahun Pertama Pemerintah Prabowo–Gibran
ILUSTRASI. Aspermigas menilai tahun pertama pemerintahan Prabowo-Gibran masih diwarnai berbagai polemik di sektor minyak dan gas bumi (migas).


Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Herlina Kartika Dewi

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) menilai tahun pertama pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka masih diwarnai berbagai polemik di sektor minyak dan gas bumi (migas), terutama terkait kebijakan yang dinilai belum matang dan kurang melibatkan pemangku kepentingan.

Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal mengatakan, sejumlah kebijakan migas dalam satu tahun terakhir menimbulkan dampak negatif terhadap pelaku usaha, masyarakat, dan iklim investasi.

Dia mencontohkan, polemik di sektor LPG, pengelolaan sumur masyarakat, pasokan BBM untuk SPBU swasta, serta kebijakan campuran etanol (E10) yang belum terimplementasi dengan baik.

Baca Juga: Industri Kilang Migas Berperan Penting Implementasikan Kebijakan Hilirisasi

“Kami melihat ada beberapa polemik signifikan yang tidak bisa diabaikan. Pemerintah harus lebih bijak dalam membuat kebijakan, karena setiap keputusan di sektor migas pasti berdampak luas ke ekonomi, sosial, dan investasi,” kata Moshe kepada Kontan, Senin (20/10/2025).

Kebijakan yang Belum Matang

Moshe menyoroti polemik subsidi dan distribusi LPG 3 kilogram yang sempat menimbulkan keresahan di masyarakat. Menurutnya, pemerintah memang memiliki niat baik untuk menata ulang kebijakan energi, namun langkah implementasi seringkali tidak diiringi komunikasi dan kesiapan sistem yang memadai.

“Niatnya baik, tapi kalau tidak matang justru menimbulkan gejolak baru. Jangan sampai kebijakan yang sama terulang,” ujarnya.

Selain itu, Moshe juga menyoroti kebijakan legalisasi sumur-sumur minyak rakyat, yang dinilainya justru menambah risiko keselamatan dan lingkungan.

Dia menegaskan kegiatan eksplorasi dan produksi migas seharusnya dilakukan oleh pihak profesional, bukan masyarakat tanpa keahlian.

“Solusinya bukan melegalkan yang ilegal, tapi menata dan menyerahkan pengelolaan kepada profesional. Banyak kasus kebakaran dan korban jiwa terjadi karena kurangnya pengawasan,” kata dia.

SPBU Swasta Masih Tertekan

Masalah lain yang juga disoroti Aspermigas adalah kelangkaan BBM di SPBU swasta, yang dinilai sebagai dampak dari ketimpangan pasokan dan kebijakan harga antara Pertamina dan operator non-BUMN.

Menurut Moshe, kondisi tersebut tidak hanya merugikan masyarakat yang kehilangan pilihan tempat membeli BBM, tetapi juga memukul keberlangsungan bisnis operator swasta.

Baca Juga: SKK Migas Buka Suara Soal Perbedaan Data Lifting Migas antara ESDM dan Kemenkeu

“Banyak SPBU swasta kini sepi bahkan berhenti beroperasi. Cash flow terganggu, karyawan dirumahkan. Ini masalah yang sebenarnya mudah diselesaikan jika pemerintah mau duduk bersama semua pihak,” tegasnya.

Dia menambahkan, persoalan ini juga membuat Pertamina ikut terdampak secara reputasi, karena menjadi sasaran kritik publik akibat kelangkaan BBM di sektor swasta.

“Padahal ini bukan kesalahan Pertamina sepenuhnya. Akibatnya citra Pertamina dan Kementerian ESDM justru menjadi negatif, seolah mendukung praktik monopoli,” jelasnya.

Aspermigas juga mencatat beberapa kebijakan lain yang menimbulkan ketidakpastian, antara lain rencana penghentian ekspor gas (yang kemudian dibatalkan), polemik dana hasil ekspor (DHE) yang tidak mencakup gas, hingga rencana penerapan campuran etanol 10% (E10) dalam BBM.

“Setiap kebijakan yang berubah-ubah atau tidak konsisten akan dicatat oleh pengusaha dan investor. Ini bukan hal sepele,” ujar Moshe.

Dia mengingatkan, dunia usaha mencermati setiap langkah pemerintah. Ketidakpastian kebijakan, menurutnya, dapat menurunkan minat investasi di sektor migas yang membutuhkan modal besar dan risiko tinggi.

“Ada yang bilang kebijakan ini tak berdampak ke investor, tapi itu keliru. Justru calon investor akan berpikir dua kali melihat iklim yang tidak kondusif,” katanya.

Perlu Pembenahan Kelembagaan

Moshe menilai, pemerintah dan Kementerian ESDM perlu melakukan pembenahan kelembagaan dan koordinasi agar kebijakan migas tidak diambil secara terburu-buru tanpa analisis dampak yang komprehensif.

“Kebijakan jangan dikeluarkan dulu baru dilihat reaksinya. Itu bukan cara yang profesional,” ujarnya.

Dia mengingatkan, sesuai Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) 2017, kebutuhan migas Indonesia masih akan meningkat hingga 2050. Artinya, sektor ini masih menjadi pilar penting dalam transisi energi nasional.

“Migas bukan industri sunset bagi Indonesia. Permintaannya akan terus naik karena kebutuhan energi nasional juga meningkat. Justru karena itu, tata kelolanya harus semakin baik,” tegas Moshe.

Aspermigas berharap pemerintah dapat lebih terbuka melibatkan pelaku industri dalam perumusan kebijakan, agar sektor migas kembali menjadi pilar utama pertumbuhan ekonomi dan menarik bagi investor asing.

Selanjutnya: Korsel Ingin Jadi Negara dengan Industri Pertahanan Terbesar Keempat Dunia

Menarik Dibaca: Saham-saham Bank Melejit Menopang IHSG, Ada Apa?

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
AYDA dan Penerapannya, Ketika Debitor Dinyatakan Pailit berdasarkan UU. Kepailitan No.37/2004 Pre-IPO : Explained

[X]
×