Reporter: Arfyana Citra Rahayu | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sekretaris Jenderal Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey menjelaskan, selama ini sering terjadi konflik antara penambang nikel dengan smelter terkait penjualan bijih nikel. Biang kerok masalahnya ialah pengolahan kadar dan hasil analisa kadar.
“Harga Patokan Mineral (HPM) Nikel tidak berjalan semestinya. Sedangkan sudah tertuang dalam Permen ESDM Nomor 11 Tahun 2020,” jelasnya dalam Workshop Virtual INPIST, Rabu (11/1).
Akhirnya setelah dua tahun sejak HPM diterbitkan, Direktur Jenderal Minerba mengeluarkan Surat Pemberitahuan kepada pemilik Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan Izin Usaha Industri (IUI) wajib menggunakan HPM Nikel dalam transaksi jual beli yang berbasis Free On Board (FOB).
Baca Juga: APNI Sebut Ada Aktivitas Pertambangan Ilegal di Blok Pomalaa Vale Indonesia (INCO)
“Ini perjuangan yang luar biasa ya APNI bagaimana menyampaikan kepada pemeribtah terkait konflik yang terjadi terhadap analisa perbedaan kadar,” ujarnya.
Aturan yang berlaku per 12 Januari 2023 ini akan membuat seluruh transaksi bijih nikel berbasis Free On Board (FOB). Dia mengharapkan tidak lagi terjadi isu konflik atau keributan antara penambang dan smelter.
Baca Juga: Cadangan Bijih Nikel Kadar Tinggi untuk Smelter Pirometalurgi Terancam Tidak Cukup
“Karena selalu ya terjadi beda kadar akhirnya ribut, beda analisa ribut ujung-ujungnya berdampak pada penerimaan negara pembayaran PNBP atau royalti,” ungkapnya.
Saat ini, APNI juga sedang berjuang untuk HPM limonite. Di Agustus pihaknya berhasil memperjuangkan PNBP limonit yang tadinya 10% menjadi turun menjadi 2%, Meidy bilang ini merupakan kemajuan untuk membantu para penambang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News