Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jelang uji jalan (road test) program biodiesel B50, sektor tambang dan ahli mesin mewanti-wanti mengenai beberapa hal.
Asal tahu saja, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, telah menyampaikan bahwa uji jalan akan dimulai awal bulan depan dan berlangsung secara serentak di enam sektor: otomotif, alat pertanian, pertambangan, perkeretaapian, perkapalan, dan pembangkit listrik (genset).
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) akan memulai uji jalan (road test) program biodiesel B50 pada awal Desember 2025.
"Semua kendaraan sudah disiapkan. Ada truk, alat berat, traktor, kapal, hingga kendaraan pertanian. Uji jalan ini bukan seremoni, tapi benar-benar dilakukan dengan target teknis yang jelas,” ujar Eniya dalam acara 21st Indonesian Palm Oil Conference and 2026 Price Outlook (IPOC) di Nusa Dua, Bali, Kamis (13/11/2025).
Terkait langkah ini, Perkumpulan Tenaga Ahli Alat Berat Indonesia (PERTAABI) mengatakan terdapat dampak penggunaan biofuel termasuk biodiesel kepada performa mesin.
Baca Juga: Analis Bloomberg: Program B50 Berpotensi Mengikis Ekspor CPO RI
Menurut Ketua Umum PERTAABI, Rochman Alamsjah, biofuel memiliki sifat higroskopis yang tinggi. Sederhananya, higroskopis artinya kemampuan suatu zat untuk menyerap kelembapan dari udara di sekitarnya.
"Bahan yang memiliki sifat higroskopis tinggi akan mudah menarik air dari lingkungan. Sifat inilah yang membuat biofuel, salah satunya biodiesel, rentan terkena oksidasi yang memungkinkan tumbuhnya mikrobial dan biologikal di dalam bahan bakar," jelas Rochman.
"Hal itu akan menurunkan kualitas bahan bakar. Filter pada permesinan juga gampang tersumbat," kata dia.
Kemudian, juga dari biofuel itu, densitas (density) atau kepadatan lebih besar daripada solar murni, sehingga butiran pengabutan di dalam sistem injeksi bahan bakar akan menjadi lebih besar.
"Ini membuat umur injektor menjadi lebih rendah. Pelumasan menjadi berkurang di dalam komponen-komponen permesinan. Ini semua yang memicu peningkatan biaya perawatan mesin," tambah Rochman.
Sama seperti awal pengumuman penerapan B50, Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) dan Indonesia Mining Association (IMA) menganggap penerapan penggunaan biodiesel akan berpengaruh pada kenaikan biaya produksi batubara.
Menurut Pelaksana Tugas (Plt) APBI, Gita Mahyarani, penggunaan B50 akan berdampak pada peningkatan biaya tambang, dalam hal ini sektor batubara yang tengah berada dalam tantangan harga fluktuatif.
"Karena memang bebannya itu ngambil itu per liter. Nah, ini bisa di angka seribu sampai dua ribu rupiah per liter. Kalau kita melihat keseluruhan total produksi, penambang akan butuh banyak bahan bakar," ungkap Gita kepada Kontan, Minggu (23/11/2025).
Baca Juga: BPDB : Biodiesel jadi Pilar Stabilitas Harga Sawit dan Energi Nasional
Untuk diketahui, pengguna biodiesel dibagi menjadi kategori industri PSO (Public Service Obligation) dan kategori Non-PSO (Non-Public Service Obligation).
Industri tambang sendiri, dalam penerapan B40 tahun ini, masuk dalam industri Non-PSO, sehingga tidak mendapatkan subsidi pemerintah, dengan penetapan dilakukan oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral melalui Keputusan Menteri (Kepmen).
Selain potensi peningkatan biaya, Gita bilang terdapat potensi slump atau yang sering dikenal dengan pengentalan (gelling) dan pembentukan endapan (sludge) pada mesin tambang yang menggunakan biodiesel.
"Jangan lupa, maintenance karena alat berat setelah dipakainya, mulai dari B40, yang sekarang saya tahu lagi uji jalan untuk B50, harus dilihat juga adanya slump. Otomatis itu harus ada pergantian filter mesin," jelas dia.
Sebelumnya, dalam catatan Kontan, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia sempat mengungkap bahwa untuk mempertimbangkan lagi penerapan B50 tahun depan.
"Kalau penggunaan B50 beberapa asosiasi, seperti IMA, APBI, APNI, Aspindo, PERHAPI, MGEI, PERTAABI, kami ini sudah memohon ke pemerintah melalui surat ke Kem-ESDM agar dipertimbangkan lagi (penerapan B50)," ungkap Hendra beberapa waktu lalu.
Di sisi lain, Pengamat otomotif Bebin Djuana mengatakan standar B50 tidak lazim di dunia, sehingga sulit mencari merek mesin yang siap untuk menggunakan biodiesel sebagai bahan bakarnya.
Baca Juga: Kementerian ESDM Siap Gelar Road Test B50 Awal Desember Sebelum Mandatori 2026
"Saya rasa, supaya tidak merugikan masyarakat, perlu diberikan waktu untuk mempersiapkan modifikasi yang diperlukan, sekaligus spare parts yang dibutuhkan bagi kendaraan yang sudah beredar," kata dia kepada Kontan, Minggu (23/11/2025).
Lebih detail, Bebin mendorong pemerintah untuk menghitung keuntungan dari pemotongan devisa karena pengurangan impor solar dengan pengeluaran cost atau biaya bahan bakar yang harus digunakan masyarakat jika menggunakan B50.
"Hitung-hitungan sederhana saja, kita perlu mengingat besarnya polusi yang bisa diturunkan dan harga yang akan dibayar publik untuk tetap beraktivitas sesuai dengan dihapusnya devisa," kata dia.
"Karena Indonesia yang pertama kali akan menerapkan solar B50, tentu dampak jangka menengah dan jangka panjang pada mesin belum diketahui," jelasnya.
Selanjutnya: Lonjakan Permintaan Sewa Pabrik Siap Pakai oleh Perusahaan China, Pasokan Masih Minim
Menarik Dibaca: Cara Mengaktifkan Fitur Facebook Pro, Ikuti Langkah Demi Langkah Berikut Ini Ya!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













