Reporter: Handoyo | Editor: Handoyo
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengungkapkan kebijakan bea keluar batubara hanya akan diberlakukan ketika harga komoditas tersebut berada pada level tinggi di pasar global.
Pemerintah tidak akan memungut bea keluar saat harga batubara sedang melemah.
Bahlil menjelaskan, pengenaan bea keluar akan berbasis pada ambang harga tertentu yang saat ini masih diformulasikan oleh pemerintah.
“Kita akan kenakan biaya ekspor apabila harga pasarnya itu sudah mencapai angka tertentu. Formulasinya kami lagi buat,” ujar Bahlil di kantor Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (19/12/2025).
Meski demikian, Bahlil belum bersedia mengungkapkan besaran tarif bea keluar yang akan diterapkan.
Ia menegaskan, pemerintah tetap mempertimbangkan kondisi arus kas dan tingkat keuntungan perusahaan tambang batu bara dalam merumuskan kebijakan tersebut.
Baca Juga: Normalisasi Pasar Dinilai Jadi Faktor Penekan Harga Batubara Sepanjang 2025
Menurut dia, pengenaan bea keluar saat harga rendah justru berpotensi menekan kinerja keuangan perusahaan.
“Kalau harganya rendah, perusahaan profit-nya kan kecil. Kalau kita kenakan bea keluar, itu bukan kita membantu dia. Syukur kalau untungnya masih ada, kalau rugi? Negara juga harus fair,” tandas Bahlil.
Dalam catatan Kontan, Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa memastikan pungutan bea keluar batubara akan segera diimplementasikan pada tahun 2026 mendatang.
Purbaya menyebut, tarif bea keluar yang akan dipatok pemerintah berada pada kisaran 1% hingga 5% per ton.
Ia menyoroti ketidakadilan fiskal yang terjadi selama ini, di mana kelompok usaha batubara yang meraup keuntungan besar justru menikmati fasilitas yang membebani APBN, salah satunya fasilitas restitusi.
Oleh karena itu, ia ingin menerapkan bea keluar batubara agar memastikan penerimaan negara tetap terjaga serta sesuai dengan prinsip keadilan.
"Iya kenapa (dipungut bea keluar), karena kita subsidi mereka. Kita subsidi loh, net-netnya kita kasih subsidi. Bukan dapat pajak, bukan nggak ada. Jadi saya balikin ke normal seperti itu. Sebelum Undang-Undang Cipta Kerja," kata Purbaya kepada awak media di Gedung DPR, Senin (8/12/2025).
Baca Juga: Pengusaha Batubara Ingatkan Risiko Kemitraan Tambang Ilegal terhadap Kepastian Hukum
Sementara dalam rapat bersama Komisi XI, Purbaya menyinggung bahwa perubahan status batubara dari non-barang kena pajak menjadi barang kena pajak membuat perusahaan batubara berhak mengajukan restitusi Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
Alih-alih menambah pemasukan negara, skema ini justru menimbulkan beban besar, yakni negara menanggung kerugian hingga Rp 25 triliun per tahun akibat skema restitusi.
"Jadi pada waktu Undang-Undang Cipta Kerja 2020 diterapkan, jadi menguat status batubara dari non-barang kena pajak menjadi barang kena pajak, akibatnya industri batubara bisa meminta restitusi PPN ke pemerintah. Itu sekitar Rp 25 triliun per tahun," kata Purbaya dalam rapat tersebut.
Purbaya menambahkan bahwa dengan kebijakan pungutan bea keluar batubara, pemerintah bisa menambah penerimaan sebesar Rp 20 triliun setiap tahunnya.
Selanjutnya: Ini yang Harus Anda Ketahui Tentang Objek Antarbintang dan Mengapa itu Penting
Menarik Dibaca: Kenaikan Suku Bunga BoJ Guncang Pasar Kripto, Begini Saran bagi Investor
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













