Reporter: Diki Mardiansyah | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga batubara global terus berada dalam tren melemah sepanjang 2025. Namun, pelaku industri menilai penurunan tersebut lebih mencerminkan proses normalisasi pasar ketimbang krisis permintaan
Faktor paling dominan yang menekan harga berasal dari lonjakan produksi domestik di negara importir utama, terutama Tiongkok dan India, yang secara signifikan memangkas kebutuhan impor.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Gita Mahyarani mengungkapkan, penurunan harga batubara tahun ini merupakan hasil kombinasi dinamika global di sisi permintaan, suplai, serta kebijakan energi.
"Tentunya bukan karena satu faktor tunggal, melainkan kombinasi dinamika global di sisi permintaan, suplai, dan kebijakan energi,” ujarnya kepada Kontan, Kamis (18/12).
Baca Juga: Bekasi Fajar Industrial Estate (BEST) Perkuat Daya Saing Kawasan MM2100
Gita menjelaskan, China meningkatkan produksi domestik secara agresif demi ketahanan energi mereka. India juga mencatat rekor produksi domestik.
Peningkatan pasokan domestik di dua negara tersebut membuat impor batubara tumbuh sangat terbatas dan semakin selektif terhadap kualitas tertentu. Kondisi ini langsung tercermin pada tekanan harga global, yang pada akhirnya mempersempit ruang ekspansi dan investasi baru bagi pelaku usaha batubara, termasuk di Indonesia.
Meski demikian, Gita menegaskan produksi nasional masih berjalan. Namun, ruang napas industri semakin menyempit akibat kombinasi harga yang melemah dan tekanan biaya.
“Ke depan, kebijakan yang adaptif, proporsional, dan berbasis kondisi pasar menjadi kunci untuk menjaga kontribusi sektor batubara terhadap penerimaan negara, ketahanan energi, dan keberlanjutan industri,” kata dia.
Senada, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai turunnya permintaan dari Tiongkok menjadi faktor paling berpengaruh terhadap pelemahan harga batubara sepanjang tahun ini.
Menurutnya, sentimen negatif akibat pelemahan ekonomi global dan agenda transisi energi memang memengaruhi pembiayaan, perizinan, serta kebijakan emisi. Namun, dampak terbesar terhadap permintaan justru berasal dari peningkatan produksi dalam negeri Tiongkok dan India.
“Dua negara importir batubara terbesar tersebut meningkatkan produksi domestik secara signifikan, sehingga porsi impor menurun tajam,” ujar Hendra kepada Kontan, Kamis (18/12).
Ia mencatat, pembangkit listrik berbasis batubara di Tiongkok masih tumbuh sekitar 1%, sementara di India hanya turun sekitar 2%. Di sisi lain, negara-negara ASEAN justru mencatat kenaikan konsumsi batubara sekitar 10% secara tahunan.
Hendra menambahkan, tekanan harga berpotensi memangkas volume produksi, terutama di tambang-tambang dengan lokasi jauh di wilayah inland yang menghadapi ongkos logistik tinggi dan cenderung meningkat.
Selain itu, pelemahan harga juga mendorong perusahaan menahan belanja modal dan memfokuskan pengeluaran pada biaya operasional utama, disertai langkah efisiensi di pos lain.
IMA memperkirakan volume produksi batubara nasional pada 2025 berpotensi turun sekitar 75 juta ton atau sekitar 9% menjadi 760 juta ton. Adapun dampaknya terhadap penerimaan negara, termasuk royalti dan penerimaan negara bukan pajak (PNBP), dinilai bervariasi tergantung tarif dan kualitas batubara.
“Translasi ke penurunan penerimaan negara hanya bisa dijawab pemerintah karena struktur tarif royalti dan kualitas batubara Indonesia cukup beragam,” pungkas Hendra.
Baca Juga: Pupuk Indonesia: Perpres 113/2025 Jadi Titik Balik Efisiensi Industri Pupuk Nasional
Selanjutnya: Merger MORA dan MyRepublic Ditargetkan Rampung Semester I-2026, Ini Catatan Analis
Menarik Dibaca: 5 Warna Cat Rumah yang Membawa Aura Positif, Cocok untuk Sambut Tahun Baru!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News













