Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri digital dengan beragam segmen dan platform-nya digadang bakal menjadi tumpuan ekonomi Indonesia di masa depan. Dengan potensi pasar yang melimpah, Indonesia pun telah melahirkan usaha rintisan berbasis digital dengan nilai valuasi lebih dari US$ 1 miliar (unicorn) hingga yang berlabel decacorn (valuasi lebih dari US$ 10 miliar).
Meski mengusung model bisnis baru, namun industri digital Indonesia masih ditopang oleh konglomerat lama. Korporasi berskala jumbo macam Djarum Grup, EMTEK, Sinar Mas Grup, hingga Grup Astra ramai membanjiri investasi pada platform digital dengan berbagai segmen ini.
Grup Djarum misalnya, untuk platform marketplace memiliki BliBli. Selain berinvestasi di Gojek, Grup Djarum juga bakal terlibat dalam aksi pencatatan umum saham perdana alias initial public offering (IPO) Grab.
Selain Djarum, konglomerasi Indonesia yang turut berpartisipasi dalam aksi go public Grab di Amerika Serikat (AS) adalah EMTEK dan Grup Sinar Mas.
Sinar Mas dan EMTEK juga semakin melebarkan sayap bisnisnya di ekonomi digital. Misalnya lewat Sinar Mas Digital Venture dan Happy Fresh, lalu untuk EMTEK masuk ke BukaLapak dan DANA.
Grup Astra pun tak mau ketinggalan. Selain berinvestasi di Gojek, baru-baru ini Grup Astra juga menanamkan dana di usaha rintisan (start up) Sayurbox dan Halodoc.
Investasi yang digelontorkan Astra mencapai Rp 580 miliar untuk kedua start up tersebut. Rinciannya, US$ 35 juta atau setara Rp 507,5 miliar untuk Halodoc dan US$ 5 juta setara Rp 72,5 miliar untuk Sayurbox.
Baca Juga: Dukungan konglomerat Indonesia untuk Grab yang bersiap melantai di bursa AS
Peneliti Center of Innovation and Digital Economy Indef Nailul Huda menilai, perusahaan digital terutama yang baru berkembang, masih sulit lepas dari ketergantungan pada konglomerat atau venture capital.
Pararel dengan itu, tren gencarnya konglomerasi besar masuk ke industri digital menandakan sektor ini menjadi bisnis yang potensial untuk sekarang dan punya prospek yang cerah ke depannya.
Sangat mungkin, makin banyak konglomerasi besar yang tertarik untuk turut mengempit kue ekonomi digital ini, terlebih beberapa platform digital dan unicorn Indonesia disebut-sebut siap melakukan IPO. Nah, lewat instrumen IPO ini, Huda berpandangan cengkeraman konglomerasi bisa sedikit melonggar.
"Saya rasa tidak akan terlalu dikuasai karena kepemilikan dari perusahaan digital bukan hanya oleh konglomerasi. Terlebih jika sudah IPO maka konglomerasi besar ini juga akan “sharing” kepemilikan oleh publik," jelas dia kepada Kontan.co.id, Selasa (27/4).
Yang pasti, dia melihat bahwa peta kompetisi ekonomi digital Indonesia bakal bertumpu pada tiga poros utama. Pertama, poros Gojek yang dikabarkan akan merger dengan Tokopedia. Gojek merupakan super apps ride-hailing dan memiliki digital payment yang kuat, ditambah dengan Tokopedia yang merupakan salah satu marketplace terbesar.
Kedua, kubu Grab yang berkolaborasi dengan OVO, DANA dan juga BukaLapak. Ketiga, Shopee Grup yang menjadi raksasa e-commerce serta memiliki digital payment yang kuat, bahkan Shopee juga sudah merambah ke sektor pesan antar makanan.
"Akan seru persaingan konglomerasi ketiga kelompok perusahaan digital itu. Mereka pasti akan mengembangkan ekosistemnya masing-masing. Semakin banyak layanan di ekosistem mereka, maka akan semakin menang," terang Huda.