Reporter: Filemon Agung | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Pertamina Geothermal Energy (PGE) menargetkan pengembangan bisnis green hydrogen bisa dimulai tahun ini. Karena itu, perusahaan menghitung, kebutuhan investasi awal diperkirakan ada di kisaran US$ 3 juta hingga US$ 5 juta.
Direktur Utama PGE Ahmad Yurianto mengungkapkan, pengembangan green hydrogen direncanakan dapat dilakukan pada wilayah kerja panas bumi (WKP) eksisting yang dimiliki saat ini.
"Kalau kami lihat wilayah kerja, kami bisa bangun green hydrogen belt dan ini masa depan carbon neutral untuk Indonesia. Investasi awal dikisaran US$ 3 juta sampai US$ 5 juta," jelas Ahmad dalam diskusi virtual, Jumat (21/5).
Dia menambahkan, perkiraan biaya investasi tersebut baru meliputi sisi hulu dan belum sampai ke sisi hilir. Selain itu, produksi green hydrogen ditargetkan sebesar 100 kilogram (kg) per hari dan dapat dimulai pada tahun ini.
Kendati demikian, Ahmad memastikan saat ini pihaknya memang masih dalam tahapan kajian awal meliputi Final Investment Decision (FID), teknologi assessment dan market assessment.
Baca Juga: Tahun lalu, Pertamina Geothermal catatkan produksi listrik sebesar 14% di atas target
PGE juga telah melakukan pembicaraan dengan Kementerian terkait antara lain Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) serta Kementerian Perindustrian (Kemenperin).
Ahmad mengungkapkan, tahapan pengembangan bisnis ke green hydrogen telah dimulai saat ini dan ditargetkan pilot project dapat dilangsungkan di tahun 2021 pada salah satu area proyek yang dimiliki.
Dari sisi keekonomian, dia mengakui biaya produksi jenis green hydrogen tergolong lebih tinggi dibanding jenis hydrogen lainnya.
Meskipun begitu, Ahmad optimistis biaya produksi ke depannya dapat terpangkas terdorong dua faktor yakni pengembangan teknologi dalam proses produksi hydrogen serta komponen cost of power.
Di sisi lain, potensi pasar saat ini pun masih cukup terbuka apalagi sejumlah negara punya kebutuhan untuk mendorong target carbon neutral.
"Untuk besarkan pie-nya, kami juga lihat akses dan kaji tidak hanya domestik tapi pasar regional atau beyond regional. Di mana (jika) ada satu pasar yang sudah terapkan target carbon neutral otomatis itu akan jadi potensi," jelas Ahmad.
Dari sektor domestik, sejumlah sektor dinilai punya potensi antara lain fertilizer, steam hingga refinery. Kendati demikian, Ahmad menilai kehadiran green hydrogen tidak akan serta merta bisa menggantikan produk eksisting yang ada.
"Kemungkinan tidak akan secara langsung gantikan, kalau bandingkan titik saat ini harga green hydrogen akan sedikit lebih tinggi dibanding hydrogen lainnya. Perlu upaya pengembangan pasar dan berikan value propositon," terang Ahmad.
Dia bilang, dengan menawarkan nilai produk green hydrogen maka ada faktor cleanliness yang dinilai jadi keunggulan untuk ditawarkan kepada konsumen. Bahkan menurut Ahmad, terdapat sejumlah customer yang punya kebutuhan terhadap sumber energi yang dapat mendorong tercapainya carbon neutral dan siap membayar dengan harga premium.
Di sisi lain, Direktur Panas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Harris mengungkapkan, saat ini pihaknya memang tengah memproses kehadiran regulasi guna mendorong pemanfaatan panas bumi untuk potensi non kelistrikan.
Baca Juga: Wamen BUMN: IPO holding panas bumi ditargetkan bisa dilakukan pada kuartal IV-2021
"Kami mulai identifikasi di lokasi panas bumi apa ada potensi untuk tingkatkan keekonomian dan potensinya yang besar. Tidak hanya untuk ke hidrogen tapi juga potensi dalam dukung perkebunan teh, tembakau untuk pengering," jelas Harris.
Sebelumnya Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengungkapkan pengembangan hydrogen emang jadi salah satu fokus Pertamina ke depannya. Pasalnya hydrogen dinilai sebagai potensi energi hijau.
"Proyek pertama PLTP Ulubelu, sekarang hasilkan green hydrogen ini diperlukan untuk bioenergi dan posisi hari ini demand-nya juga besar untuk kilang," jelas Nicke dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) bersama Komisi VI DPR RI, Kamis (20/5).
Selanjutnya: Anak usaha Pertamina kini hanya tersisa 12 perusahaan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News