kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45927,64   6,18   0.67%
  • EMAS1.325.000 -1,34%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Balada pemain bola di tengah potensi luar biasa


Senin, 21 Maret 2016 / 18:13 WIB
Balada pemain bola di tengah potensi luar biasa


Reporter: Andri Indradie, Silvana Maya Pratiwi , Tedy Gumilar | Editor: Andri Indradie

Rasa kecewa itu masih berkecamuk di dada Ismed Sofyan. Sempat diagung-agungkan sebagai pemain bek legendaris sepanjang masa, bahkan disebut Sergio Ramos-nya Indonesia, kini Ismed tak ubahnya pengangguran. Sejak tahun lalu, pemain bek kanan 37 tahun yang pernah mencetak gol di ajang kualifikasi Piala Dunia Maldives dan Sri Lanka ini tak lagi punya pendapatan. “Ini, kan, lahan kerjaan kami. Kalau dibekukan, sama saja kayak orang di-PHK,” tuturnya ke KONTAN, Kamis (25/2).

Ismed yang membela Klub Persija sejak 2003 silam ini, merupakan salah satu dari bepuluh-puluh pemain sepakbola yang seolah-olah terkena Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mereka tak punya lagi pemasukan sehingga mampu bikin dapur rumahnya terus mengepul. Alhasil, Ismed harus berburu turnamen alternatif demi secuil dana.

Bahkan, beberapa pemain profesional yang berburu turnamen kampung demi recehan. Sebut saja turnamen Pordek yang diikuti 64 klub amatir sepakbola di wilayah Jabodetabek. Dengan biaya pendaftaran Rp 500.000, klub juara berhak atas hadiah Rp 35 juta. Joko Setiawan, mantan pemain Persikota Tangerang, misalnya. Ia mengikuti turnamen kampung dengan bayaran Rp 300.000–Rp 500.000 di awal turnamen.

Yang terbaru adalah turnamen "Bali Island". Turnamen ini dikejar tim-tim besar seperti Persib dan Arema Cronus. Padahal, hadiah Juara I hanya Rp 250 juta, juara II Rp 100 juta, serta juara III & IV Rp 50 juta! Bisa kita bayangkan kira-kira seorang pemain dapat berapa? Itu pun kalau juara.

Kata Ismed, “kegiatan baru “ para pemain bola ikut turnamen itu berisiko tinggi. Bukan cuma turnamennya bersifat sementara dan tak ada sistem kontrak seperti kompetisi profesional, kondisi lapangan dan lawan yang tak jelas, bisa saja menurunkan kualitas permainan si pemain profesional.

“Kalau turnamen seperti itu kami, kan, dapat gaji, kasarnya, cuma untuk hidup satu bulan. Kalau kompetisi berbeda. Sebelum kompetisi, sudah kontrak satu tahun ke depan. Solusinya, harus ada kompetisi. Kalau tidak ada kompetisi di Indonesia, artinya nganggur semua. Namanya, penghasilannya tidak ada,” tegas Ismed.

Kalau saja...

Sejak 17 April 2015 lalu, Kementerian Pemuda dan Olah Raga (Kemenpora) resmi membekukan Persatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (PSSI) lewat Surat Menpora No. 01307/2015, tepat pada saat PSSI sedang mengadakan kongres luar biasa di Surabaya, Jawa Timur. Intinya, Kemenpora tak mengakui kegiatan keolahragaan PSSI.

Singkat kata, surat itu dikeluarkan dan membekukan lantaran PSSI mengabaikan surat peringatan (SP) 1, SP 2, dan SP 3 yang dilayangkan Kemenpora. SP 1 gara-gara PSSI melanggar keputusan Badan Olahraga (BOPI) dengan mendorong Arema dan Persebaya ikut Liga Indonesia 2015.

Pada saat tulisan ini naik cetak, Kemenpora sedang mengkaji pencabutan surat pembekuan PSSI, setelah pertemuan antara Presiden Joko Widodo, Wakil Presiden Jusuf Kalla, Menpora Imam Nahrowi, serta Ketua Komite Ad Hoc Reformasi PSSI Agum Gumelar, Rabu, (24/2) minggu lalu.

Apa harapan Anda? Dicabut atau dibiarkan?

Di mata pebisnis dan investor olahraga, Hasani Abdulgani, CEO Mahaka Sports & Entertainment, potensi bisnis sepakbola di Indonesia sebenarnya sangat besar. Dan, perlakukan terhadap sepakbola sudah seharusnya diperlakukan sebagai bisnis pertunjukan, bak film dan musik. “Middle class kita cukup besar. Sekitar 150 juta kalau tidak salah. Di situ pasarnya,” ujarnya ke KONTAN.

Masalahnya, di Indonesia agak susah mengandalkan kelas  menengah lantaran orang masih ketakutan nonton sepakbola karena tawuran. Padahal, lanjut Hasani, kalau bisa kasih produk bagus, orang mudah keluar uang membeli tiket.

Produk yang bagus bikin dampak yang besar. Kalau banyak orang nonton, perusahaan sponsor akan banyak pasang iklan, rating televisi melejit, perputaran uang pun juga besar. “Waktu Piala Presiden bergulir, rating di final itu tertinggi sepanjang 2015, mencapai share 45 juta pemirsa,” ujar Hasani.

Hitung-hitungan kasar, misalnya saja Stadion Gelora Bung Karno (GBK) yang berkapasitas kira-kira 88.000 penonton, jika tiket rata-rata Rp 50.000 saja, sudah terkumpul Rp 4,4 miliar. Atau, lanjut Hasani, bayangkan kalau bisa jual tiket Rp 500.000 per orang di kursi Very Important Person (VIP) sekitar 5.000 full. Itu sudah Rp 2,5 miliar dengan catatan stadion nyaman, dijaga, tontonan bagus, dan sebagainya. Itu baru tiket, belum fanatisme klub yang mengerek penjualan merchandise.

Sayang, kini, para pemain  kita ibarat ikan-ikan arwana yang tengah kehausan, padahal berenang di dalam kolam. Ya, enggak?!

BOKS

Harapan Kita Terhadap Sepakbola

Apa harapan Anda terhadap iklim dan kondisi pesepakbolaan Indonesia? Kalau pemerintah sedang gaduh tak jelas dan hampir kehabisan energi untuk hal-hal yang seharusnya tak perlu, Hasani Abdulgani, pebisnis dan investor olahraga sekaligus CEO Mahaka Sports & Entertainment, punya harapan jelas.

“Cita-cita saya simpel. Pemain sepakbola ini (di Indonesia) pakai (mobil) Mercedes Benz. Sekarang, beli (Toyota) Avanza saja menjerit,” cetus Hasani yang berhasil untung bersih Rp 1,5 miliar dari menyelenggarakan ajang Piala Presiden dengan pengeluaran Rp 42 miliar lebih sebagai promotor.

Bagaimana cita-cita itu bisa terwujud? Kuncinya ada di manajemen. Siapapun yang duduk di manajemen, harus mampu membuat produk sepakbola menjadi sebuah tontonan alias hiburan bagus. Agar bisa bagus, para pemain juga harus berkualitas, lingkungan stadion aman, dan penonton nyaman. Kalau tidak begitu, tentu sponsor tidak mau masuk sepakbola.

Memang, efek hukuman dari FIFA membuat produk-produk luar seperti Unilever dan Coca-cola enggan masuk sepakbola Indonesia lagi. Tengok saja, sekitar tahun 1977, Inggris pernah mendapat sanksi dari FIFA. Tapi mereka justru melahirkan ajang Liga Premier. Semua orang yang berkepentingan berjuang dan berpikir sama, semua melihat potensi. “Kalau mikirnya beda-beda, ya, bubar,” tegas Hasani.

Harapan presiden kita? Reformasi PSSI tetap jalan dan akuntabilitas PSSI harus terus ditegakkan. Anda optimistis kita bisa?

SUMBER: Laporan Utama Tabloid KONTAN Mimpi Bisnis Olahraga Indonesia, Edisi 29 Februari – 6 Maret 2016.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Trik & Tips yang Aman Menggunakan Pihak Ketiga (Agency, Debt Collector & Advokat) dalam Penagihan Kredit / Piutang Macet Managing Customer Expectations and Dealing with Complaints

[X]
×