Reporter: Leni Wandira | Editor: Handoyo .
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren penutupan gerai oleh sejumlah peritel besar, seperti Matahari yang baru-baru ini menutup 13 gerai, mencerminkan tantangan besar yang dihadapi sektor ritel di Indonesia.
Menurut Haryanto Pratantara, Sekretaris Jenderal HIPPINDO (Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia), ada beberapa faktor utama yang mendorong fenomena ini.
“Penurunan daya beli yang signifikan di kalangan masyarakat, terutama segmen menengah ke bawah, menjadi salah satu alasan utama. Selain itu, peralihan perilaku konsumen yang lebih memilih berbelanja secara online daripada offline juga berpengaruh besar terhadap berkurangnya frekuensi pembelian di toko fisik,” jelas Haryanto kepada KONTAN beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Kinerja Merosot, 20 Gerai Matahari Potensial Ditutup
Dia juga menyoroti ancaman besar dari barang impor ilegal yang dijual dengan harga jauh lebih murah dibandingkan produk ritel legal.
“Misalnya, harga T-shirt impor ilegal bisa hanya Rp30-40 ribu, sementara produk brand global dihargai jauh lebih tinggi. Ini sangat merugikan pasar ritel legal,” ujar Haryanto.
Meskipun ada peraturan ketat terkait impor barang, HIPPINDO menilai solusi yang lebih efektif adalah penegakan hukum yang tegas, bukan dengan memperketat regulasi impor yang malah semakin menyulitkan peritel legal.
Menurut Haryanto, pemerintah harus fokus pada pengawasan dan mencegah masuknya barang ilegal melalui pelabuhan-pelabuhan tikus.
Melihat ke depan, HIPPINDO memproyeksikan bahwa industri ritel akan terus menghadapi risiko besar, terutama terkait peralihan konsumen yang lebih memilih barang ilegal.
“Jualan barang ilegal kini dianggap lebih menguntungkan karena bebas dari aturan dan biaya tambahan, yang membuatnya semakin sulit bersaing dengan barang legal,” kata Haryanto.
Peralihan ke belanja online juga semakin mengancam kelangsungan gerai fisik. Meski demikian, HIPPINDO percaya ada peluang baru, terutama jika peritel mampu beradaptasi dengan perkembangan digital dan menghadirkan pengalaman belanja yang menarik.
Baca Juga: Bos Mal Ungkap Alasan Ritel di Dalam Negeri Berguguran
Di sisi lain, tantangan besar yang dihadapi peritel Indonesia adalah persaingan yang ketat dengan e-commerce dan tingginya biaya operasional yang tidak sebanding dengan pendapatan. Menurut Haryanto, peritel offline harus menghadapi berbagai regulasi dan pajak yang lebih rumit dibandingkan dengan marketplace online.
“Peritel offline wajib menjadi pemungut pajak PPN dan harus mematuhi banyak aturan, sementara marketplace hanya perlu satu izin untuk menjual beragam produk,” jelasnya.
Di tengah tantangan tersebut, HIPPINDO merekomendasikan beberapa strategi bagi peritel untuk bertahan dan berkembang, antara lain meningkatkan integrasi dengan platform online untuk menciptakan pengalaman belanja omnichannel yang lebih mulus.
Selain itu, peritel juga perlu mengoptimalkan efisiensi operasional dan menjalin kolaborasi dengan pemerintah untuk menurunkan biaya-biaya tinggi, terutama terkait regulasi yang membebani mereka.
“Revitalisasi gerai fisik dengan konsep lifestyle hub yang lebih menarik bisa menjadi langkah strategis untuk menarik lebih banyak pengunjung ke toko,” ujar Haryanto.
Baca Juga: Masa Suram Pebisnis Ritel Fesyen
Selain itu, HIPPINDO juga menekankan perlunya pemerintah menciptakan iklim usaha yang lebih kondusif dengan merelaksasi pajak dan memperbaiki penegakan hukum. Haryanto menyarankan penurunan tarif PPN dan PBB sebagai langkah untuk meningkatkan daya beli masyarakat.
“Masalah mendasar yang harus segera diatasi adalah ketidakpastian hukum. Banyak peraturan yang tumpang tindih dan tidak konsisten antara pusat dan daerah, yang menghambat investasi dan pengembangan usaha,” tutup Haryanto.
Selanjutnya: Wow 6 Idol Kpop Ini Fasih Berbahasa Inggris Semua Termasuk Rose Blackpink
Menarik Dibaca: Wow 6 Idol Kpop Ini Fasih Berbahasa Inggris Semua Termasuk Rose Blackpink
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News