Reporter: Sabrina Rhamadanty | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kinerja sejumlah emiten fashion mengalami penurunan jelang akhir tahun 2024. Bahkan, beberapa di antaranya harus melakukan efisiensi dengan penutupan gerai atau menahan ekspansi untuk mempertahankan kinerja.
Terbaru, PT Matahari Departement Store Tbk (LPPF) yang mengumumkan menutup 13 toko di tahun ini. Jumlah ini lebih banyak dari rencana semula, yang hanya akan tutup 10 gerai.
Sementara, jumlah toko Matahari yang diawasi pun juga naik, dari 13 toko menjadi 20 gerai.
Dari sisi kinerja keuangan, Matahari juga cenderung melemah hingga kuartal III-2024. Di mana, pendapatan LPPF tercatat sebesar Rp 4,91 triliun per kuartal III-2024, turun tipis dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu yang sebesar Rp 4,98 triliun.
Sejalan, laba bersih Matahari Departement Store juga tergerus 1,31% menjadi Rp 622,2 miliar hingga September 2024, dari sebelumnya Rp 630,5 miliar di kuartal III-2023.
Baca Juga: Kinerja Merosot, 20 Gerai Matahari Potensial Ditutup
Penutupan gerai juga sudah terjadi di emiten fashion lainnya. Yakni PT Ramayana Lestari Sentosa Tbk (RALS). Terhitung, sejak tahun 2020 hingga semester I-2022, Ramayana telah menutup total 20 gerai, meski membuka 2 gerai lagi di wilayah baru.
Di tahun selanjutnya, RALS tercatat melakukan langkah moderat dalam perluasan bisnisnya. Dalam catatan Kontan, sepanjang tahun 2023, RALS memaksimalkan jumlah gerai yang ada.
Sedangkan untuk tahun 2024, RALS fokus pada peremajaan gerai-gerai yang dianggap sudah ketinggalan zaman.
"Gerai kurang menarik atau outdated dan melanjutkan konsep lifestyle mall yang telah dilakukan pada tahun-tahun sebelumnya,” kata Vice President Director Ramayana Lestari Sentosa, Jane Melinda Tumewu saat dihubungi Kontan, Senin (5/2).
Dari sisi kinerja keuangan, RALS mencatat pendapatan sebesar Rp 2,1 triliun hingga kuartal III-2024. Angka ini setara dengan pendapatan kuartal III-2023.
Sedangkan laba RALS terkoreksi tipis 0,8% menjadi Rp 252,7 miliar dalam periode Januari-September 2024.
Sementara itu, emiten ritel fashion lainnya, PT Mega Perintis Tbk (ZONE) mencatatkan penambahan sebanyak 22 gerai baru tahun ini. Meski bertambah, berdasarkan catatan Kontan, ZONE mencatatkan peningkatan penjualan sebesar Rp 545,59 miliar, atau meningkat 0,52% dibandingkan dengan pendapatan kuartal III 2023 lalu yang senilai Rp 542,73 miliar.
Sayangnya, laba bersih ZONE di III 2024 harus terkoreksi 76,97% dengan nilai Rp 10,48 miliar jika dibandingkan dengan laba bersih periode sama tahun lalu senilai Rp 45,52 miliar.
Persaingan Secara Online yang Kalah dengan Market Place
Terkait fenomena ini, pengamat bisnis Teguh Hidayat mengatakan hal ini berkaitan dengan beban ritel fashion yang harus bersaing dengan market place atau platform online fashion, contohnya Tokopedia Shop atau Tiktok Shop.
"Karena ini efek jangka panjang dari Tiktokshop, padahal awalnya kan sampai di boikot oleh pemerintah.Akhirnya Tiktok mengakuisisi Tokopedia, artinya Tiktok masih beroperasi sampai sekarang," ungkap Teguh saat dihubungi Kontan, Senin (09/12).
Menurut dia, setelah lepas dari Covid-19 para ritel fashion mencatatkan peningkatan kinerja, namun kembali turun ketika banyak masyarakat beralih berbelanja produk fashion melalui marketplace.
"Kinerja perusahaan-perusahaan (ritel) itu pada 2020-2021 mereka memang terkena imbas Covid-19, cuma pada 2022 kinerja mereka mulai pulih. Tapi masuk 2023 turun lagi, 2024 sekarang juga turun lagi, saya prediksi sampai tahun 2025 juga masih akan turun," katanya.
Selain itu menurut Teguh, pemerintah tidak mendukung para pelaku usaha ritel yang basisnya memang offline untuk tetap menjaga kinerjanya.
Baca Juga: Masyarakat Kelas Menengah Banyak Turun Kasta, Emiten Ritel Kena Imbasnya?
"Pemerintah tidak ada insentif maupun solusi kepada perusahaan ritel offline. Karena kinerjanya otomatis tertekan, pangsa pasarnya juga jadi tertekan," kata dia.
Adapun, meski perusahaan ritel fashion banyak yang memiliki website atau aplikasi online. Modal pengembangan aplikasi yang dimiliki jauh lebih rendah dibandingkan dengan marketplace besar seperti Tiktokshop, Tokopedia maupun Shopee.
"Untuk mengembangkan website online juga tidak gampang. Sama seperti kemarin, Tiktok sampai berani keluar uang US$ 1,5 miliar untuk mengambil alih Tokopedia. Padahal Tokopedia adalah perusahaan yang masih rugi atau bakar duit, tapi Tiktok berani keluar uang sekitar Rp 22 triliun itu," katanya.
Pendapatan ritel fashion dari sektor online kata Teguh juga tidak terlalu besar, jadi para peritel ini menurutnya hanya akan mengeluarkan biaya lebih untuk mengurus website atau aplikasi online.
"Terakhir saya cek dari data penjualan Ramayana dan Matahari, gak sampai 10% dari total pendapatan mereka yang dari toko online. Jadi 90% base-nya masih dari offline," katanya.
"Jadi memang kalah bersaing, kalaupun mereka masuk ke online tetap dibutuhkan modal yang sangat besar dan mereka gak punya uangnya," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News